Selasa, 10 Februari 2015

Chocolate Love

Mama itu paling gak suka sama yang namanya coklat. Entah coklat buatan dalam negeri sampe buatan Swiss pun mamah gak pernah mau nyicip. Gak tau kenapa mama benci banget sama yang namanya coklat.
"Da, kamu gak enek apa makan coklat terus?"
Aku menggeleng, "Enak banget kali, Mah."
Mama hanya bisa bergidik ketika liat aku kalau sudah kalap makan cokelat.
*****
"Da, kamu lagi sibuk gak?"
"Gak, Mah. Kenapa?" kataku sambil mengunyah permen cokelat.
"Kamu makan cokelat terus. Ini pipi sudah kayak bakpao," kata mama sambil mencubit pipiku.
"Ye...mama...ada apa, Mah?"
"Kenapa ya akhir-akhir badan mama berasa pegel mulu. Terus perut kayaknya penuh gas gitu, Da. Udah gitu mama selalu pengen muntah. Kenapa ya, Da?"
"Mama itu kecapean, makanya badannya gak fit. Kan Ida dah bilang mama itu dah gak muda lagi, istirahatnya harus cukup. Ini masih suka ngider kesana-sini," kataku sambil mengambil sebatang cokelat payung.
"Tapi kalau gak ada kegiatan, rasanya tambah pegel badan mama. Jadi enaknya gimana ya, Da?"
"Ke dokter apa? Jadi biar tahu mama kenapa," solusiku.
"Kamu mau anterin?"
"Demi mama, apa sih yang gak," jawabku sambil tersenyum.
Mama hanya bisa tersenyum mendengar jawabanku. Melihat senyumnya, seperti menandakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku.
*****
"Da, kamu dimana? Ida..."
"Bentar, Mah. Ini aku lagi nyisir rambut."
"Cepetan Ida, nanti dokternya keburu pulang."
"Tunggu, Mah." kataku sambil mencomot permen eclairs di meja rias.
Kulihat mama sudah menunggu di teras rumah sambil membetulkan rambutnya yang mulai memutih. Mata coklat terangnya mulai memancarkan kelelahan. Sejak papa meninggal, mama banting tulang untuk kehidupan sehari-hari. Dari mulai bisnis katering hingga baju pun pernah dilakoni sama mama. Setiap hari, mama selalu dipenuhi oleh kesibukan. Hingga suatu hari, aku pernah melontarkan kekecewaan padanya karena tidak pernah melihat dia diam di rumah seharian. Mama pun terkejut, akhirnya segala macam bisnis yang dilakoni mama ditinggalkannya. Hingga suatu hari aku membuka bisnis kuliner olahan cokelat di kota besar dan ternyata cukup sukses. Dunia pun terbalik, sekarang aku yang lebih banyak menghabiskan di luar rumah. Mama hanya berdiam diri di sudut ruangan sambil melakoni hobinya, merajut.
"Da, beneran kamu gak sibuk?" tanya mama mengagetkan diriku yang sedang melamun.
"Banyak pesenan sih, Mah. Tapi bisalah nanti dikerjakan sama yang lain," jawabku sambil merangkul lengan mama.
Mama pun tersenyum.
*****
"Noni Ratnawati, silahkan masuk."
Mama pun melangkah masuk ke dalam ruangaan dokter. Aku ingin menemainya, tetapi mama bersikeras cukup dia saja yang masuk. Katanya takut merepotkan diriku.
Lima menit, sepuluh menit, 15 menit, 20 menit  aku menunggu mama di ruang tunggu. Entah kenapa rasa khawatir begitu melanda. Aku tidak siap mendengar sesuatu yang buruk dari bibir mama. Aku takut kehilangan dirinya.
Ceklek, pintu ruangan pun terbuka. Kulihat wajah mama yang sendu tersenyum ke arahku. Senyum yang menunjukan kegalauan.
*****
"Beneran kata dokter mama cuman kecapean?" tanyaku di dalam mobil.
"Iya, Da. Katanya mama hanya butuh istirahat. Makan pun harus mulai dijaga. Harus mulai banyak makan sayur dan buah."
"Tuh kan, Ida dah bilang mama itu harus banyak makan sayur dan buah. Jangan terlalu sering minum susu, nanti jadi sapi," kataku sambil terkekeh.
"Sembarangan kamu! Susu itu sehat, loh. Lah, kamu sendiri itu makan coklat dah kecanduan. Mama liat-liat, mukamu makin mirip coklat," balas mama sambil menjawil pipiku.
"Coklat itu bagus dikonsumsi, Mah. Kalau kita lagi galau terus makan coklat, pasti langsung happy. Kenapa? soalnya coklat mengandung valeric acid yang buat suasana hati kita jadi tenang," jabarku sambil mengarahkan mobil ke arah kedai olahan coklat milik ku.
"Masa? Buktinya mama gak happy tuh kalo makan coklat. Yang ada kepala mama jadi pusing."
Aku hanya terkekeh saja mendengarnya. Mama, mama, emang ajaib.
Kuparkirkan mobil ku tepat di depan kedai.
"Happy Chocoland. Bagus juga kedai kamu, Da," komentar mama sambil melihat plang nama kedai.
"Welcome to Happy Chocoland," kataku sambil membuka pintu kedai.
Aroma coklat merebak di seluruh ruangan. Alunan musik klasik mengalun pelan di kedai mini yang kubangun ini. Kedai olahan coklat yang dibangun dengan mengencangkan ikat pinggang.
"Mah, aku mau jual mobil."
"Loh? kenapa? mau beli baru?" tanya mama keheranan.
"Aku butuh modal buat bikin kedai."
"Kedai apa? kopi?"
"Coklat," kataku mantap.
"Coklat? Gak salah kamu? Mending kamu buat kedai kopi. Lebih menarik dan yang pasti diminati banyak orang," saran mama.
"Aku gak suka kopi, Mah. Coklat lebih menarik. Lagipula kalo gak abis, kan aku bisa makan," jelasku.
"Emangnya cukup kalo kamu jual mobil?"
"Minim, sih. Tapi ya disesuaikanlah dengan budget."
"Terus kamu nanti pake apa? Angkutan umum? Kan kamu paling takut naik angkutan umum."
"Iya," jawabku walaupun ada sedikit keraguan.
"Yakin?"
Aku diam sejenak. Terlintas kasus-kasus kriminal di angkutan umum. Segera kutepis jauh-jauh pikiran negatif itu.
"Ida yakin, Mah," jawabku mantap.
*****
Di dalam kedai, mama hanya duduk termenung sambil menatap ke arah luar jendela. Aku tahu mama memang anti dengan coklat, jadi kusuguhkan teh lemon hangat kesukaannya. Tapi cahaya dari matanya yang sendu, tetap tidak terlihat di bola matanya.
"Ma, kenapa? Kok melamun terus?"
Mama terhentak dari lamunannya, "Eh, gak kok. Mama cuman lagi mikir aja."
"Mikir apa?"
Mama pun diam. Matanya kembali mengarah ke arah jendela kedai yang mulai dihiasi oleh rintik hujan.
"Mah, kemarin aku coba buat cake lemon. Mau coba?" tawarku sambil mengambil sepotong cake lemon dari etalase.
Mama pun tersenyum, "Sini mama coba."
Kuperhatikan wajah mama ketika mencoba cake lemon buatanku. Matanya menutup lalu kembali mengerjap.
"Lumayan. Tapi rasa lemonnya kurang, Da. Coba kamu parut kulit lemonnya. Pasti lebih terasa."
"Oh...gitu ya? Ida sih cuman pake air perasannya aja. Kulitnya dibuang."
"Salah kamu. Kulitnya itu kamu parut juga biar aroma lemonnya lebih kentara."
Aku pun hanya mengangguk penjelasan dari mama tentang cake lemon. Mama ini memang jago buat cake lemon. Walaupun bahan-bahanya sederhana, mama mampu mengolahnya menjadi cake lemon bintang lima. Rasa asam manis tercampur sempurna di dalam cake lemon buatannya.
*****
Aku marah sama mama. Dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tak sengaja ku menemukan surat dari dokter yang disembunyikan oleh mama di lemari. Kubaca isinya, dan aku hanya bisa menangis. Tak kusangka mama mengidap kanker hati.
"Mah, ini apa?" tanyaku sambil menunjukan surat yang kutemui.
"Ida! Darimana kamu dapat?" tanya mama sambil berusaha merebut suratnya dari gengamanku.
"Mah, kenapa gak jujur sama aku?" tanyaku yang air mata mulai menggenangi pelupuk mata.
Mama terdiam.
""Jawab, Mah!" bentak ku yang mulai terisak.
Sambil menghela napas, mama pun menjawab "Mama gak mau nyusahin kamu. Mama gak tega ngeliat kamu nanti sedih."
"Tapi mama salah! Dengan kayak gini aku berasa kayak bukan anak mama!"
Air mata pun mulai mengalir di pipi mama, "Maafin mama, Da."
Tangisku mulai meledak. Kuraih kunci mobil. Aku ingin pergi jauh ke tempat yang membuat perasaanku tenang.
*****
"Dok, bisa tidak saya jadi pendonor hati buat mama?"
"Bisa saja, asal sesuai," jawab dokter singkat.
"Prosedurnya?"
"Kamu harus melakukan berbagai macam pengecekan. Kamu pun harus menaikan atau menurunkan berat badan kalau ternyata hati kamu cocok untuk ibumu."
Aku pun berpikir. Otak ku rasanya meleleh mendengar penjelasan dokter mengenai tranplantasi hati. Tapi ini demi mama. Tak tega setelah ku melihat mama batuk darah pagi hari tadi di dapur.
"Baik, dok. Saya siap melakukan rangkaiannya."
*****
Ku melihat mama terbaring lemas di tempat tidur rumah sakit. Selang-selang kehidupan mulai terpasang di seluruh tubuhnya. Hari ini adalah hari tranplantasi hati untuk mama.
*****
"Da, Ida. Bangun, sayang...."
Ku mendengar suara yang familiar di telingaku. Mataku menangkap sosok yang ada di samping. Mama. Ya, itu mama.
"Mah..." kataku lemas.
"Da, udah jangan bangun. Badan kamu masih sakit," isak mama
Aku mengangguk. "Aku kenapa, Mah?"
Mama pun tersenyum mendengar pertanyaanku, "Kamu koma tiga hari, Da."
"Koma? Tiga hari?" tanyaku makin heran.
"Iya. Setelah operasi, tekanan darah kamu rendah. Kamu gak sadar-sadar. Tim dokter pun sempet panik karena kamu yang sebagai pendonor malah yang kritis, sedangkan mama sadarnya cepet."
Aku pun mulai mengingat-ngingat. Meja operasi, bius total, dan dentingan peralatan operasi berkecamuk di pikiran.
"Sudah, Da. Jangan dipikirkan. Yang penting kamu sekarang sudah sadar. Makasih ya sudah memberikan 40% hati kamu, Da," kata mama sambil mengusap rambutku.
"Mah..." air mataku pun mulai meleleh..
*****
Sudah hampir setahun, hatiku hidup di dalam tubuh mama. Memang hanya 40% saja, tetapi sudah cukup memberikan mama kesempatan hidup yang lebih lama.
"Ma, aku mau ganti palang nama kedai. Namanya jadi ChocoLemond Island. Gimana?"
Senyum mama merekah, "Bagus. Tapi mama lebih suka namanya Choco-Lemond Tree. Lambangnya pohon, lalu ada buah lemon dan coklat bergelantungan di pohonnya," saran mama.
"Mmmm...bisa juga," kataku sambil memikirkan nama lain "Tapi kok lebih keren ChocoLemond Island ya?"
Senyum mama pun kembali tersungging, "Terserah kamu, Da."
"Baiklah. Nanti dipikirin lagi. Tunggu ya, Mah. Ada yang pesen chocolate strawberry hot," kataku sambil berlalu ke arah dapur.
Mama pun mengangguk dan siap menyantap choco lava buatanku. Ya, sejak menerima transplantasi hati dariku, mama jadi hobi makan coklat. Aku pun tersenyum melihat mama mentandaskan choco lava di piringnya.

Cla

Selasa, 03 Februari 2015

Jeprat-Jepret 2 (Padang Mengatas)

Padang Mengatas adalah salahsatu daerah di Sumatera Barat tepatnya di Kab. Limapuluh Kota. Di Padang Mengatas sendiri terdapat tempat untuk perbibitan ternak sapi potong yang konsepnya menggunakan metode padang pengembalaan seperti di Australia dan Selandia Baru, BPTU HPT Padang Mengatas.