Jumat, 19 Desember 2014

Ainun/Habibie Mardawi Suratpaja

"Gimana kandungan kamu?"
"Alhamdulillah sehat, Mah. Lincah banget si dede. Kalo malem suka nendang-nendang perut Agni."
"Mama sudah gak sabar pengen gendong cucu, Ni..."
"Ih, Mama...dua bulan lagi. Mah, Agni kangen. Agni pengen makan sambal rujak buatan Mama."
"Ya kamu mainlah ke sini. Sudah hampir 3 bulan kamu gak nengok Mama."
Agni hanya terdiam. Entah mengapa tiba-tiba terlintas wajah Mas Ari, suaminya.
*****
Saya terima nikahnya Agni Mardawi binti Anggara Mardawi dengan seperangkat alat shalat dan emas 24 karat seberat 12 gram dibayar tunai
Ucapan Ijab Kabul 10 bulan yang dilontarkan Ari Suratpaja terus terngiang-ngiang di pikiran Agni. Kalimat itulah yang membuat Agni bertahan hingga saat ini. Pernikahan yang sempurna yang ada dibenak Agni, pupus sudah ketika baru menjalin rumah tangga seminggu.
"Mas, kamu mau makan?"
"Ya."
"Aku sudah siapkan sayur bening dan tahu-tempe di meja makan. Mau diambilkan?"
Tanpa berkata apa-apa, Ari berlalu ke meja makan dan segera melahap apa yang dimasak Agni.
"Kamu lapar berat ya?" tanya Agni sambil melihat suaminya makan secara lahap.
Ari hanya diam.
*****
Agni terpekik begitu melihat hasil test pack yang dibeli semalam menunjukan dua garis merah.
"MAS ARI!" jerit Agni sambil berlari ke ruang kerja suaminya di lantai dua.
"Gak usah teriak-teriak! Aku sedang banyak kerjaan!" kata Ari begitu Agni membuka pintu ruang kerjanya.
"Maaf, Mas. Aku cuma..."
"Apa?"
"Aku positif hamil, Mas," kata Agni sambil memeluk suaminya dari belakang.
Ari hanya menoleh sesaat ke Agni, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Tanpa kecupan dan ucapan.
Agni segera melonggarkan pelukannya.
"Kamu gak suka ya aku hamil?"
Ari asyik berkutik dengan pekerjaannya. Tanpa menghiraukan pertanyaan Agni.
"MAS!" jerit Agni "Kamu kenapa sih sama aku? Aku ada salah ya?" tanya Agni sambil menahan tangis.
Ari menoleh, "Aku sibuk. Klien yang ini cerewetnya bukan main. Besok design rumahnya harus segera jadi."
"Aku hamil, mas...masa kamu biasa aja tanggapannya. Ini calon anak kita, mas..." kata Agni sambil terisak.
Tanpa berkata apa-apa. Ari hanya memberikan pelukan dan ciuman di kening Agni.
Cukup dengan hal ini, Agni tersenyum. Walaupun bukan itu yang diinginkan.
*****
"Kamu kapan baliknya, Mas?"
"Aku lembur."
"Nanti malam kan kita mau ke dokter kandungan. Kamu sudah janji."
"Kamu sendiri aja. Banyak kerjaan di kantor."
"Ya sudah. Nanti kalau aku belum pulang, makanan sudah kusiapkan di meja. Bye," kata Agni menyudahi pembicaraannya di telphone.
Sudah sekian kali Agni mengalah. Ketidakantusiasan Ari terhadap rumah tangganya, membuat hati Agni bagaikan gelas pecah yang ketika isi air selalu pecah.
Agni dan Ari menikah akibat perjodohan orang tuanya. Tapi entah mengapa, sampai saat ini Ari tidak pernah menunjukan rasa cintanya pada Agni. Padahal Agni begitu mencintainya walaupun awalnya karena perjodohan.
*****
Usia kandungan Agni telah memasuki bulan kesembilan. Bulan yang menentukan apakah Agni layak menjadi seorang ibu atau tidak. Bulan yang penuh dengan kekhawatiran.
"Mas, kamu nanti malam mau makan apa?" tanya Agni sambil membetulkan letak dasi suaminya.
"Terserah."
"Mas, perut aku kok rasanya gak enak ya?"
"Kamu semalem kan makan rujak pedes."
Agni terbayang rujak mentimun pedas semalam yang dia konsumsi memang pedasnya luar biasa.
"Hehehe...mungkin karena itu ya?"
"Aku telat. Kamu hati-hati," kata Ari sambil mencium kening Agni.
Agni terpaku. Perilaku dan perkataan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jangankan mencium keningnya, berkata 'hati-hati' sebelum Ari berangkat kerja tidak pernah terlontar sama sekali. Biasanya hanya mengucapkan 'aku pergi' tanpa embel-embel apa pun.
Agni bahagia sekali.
*****
"Duh, ini kok perut makin gak enak ya?" batin Agni mulai risau "Apa mau melahirkan?"
Agni segera memegang gagang telephone.
Nomor yang anda hubungi, di luar area jangkauan.
Sekali lagi Agni mencoba menghubungi suaminya.
"Ya. Aku sedang rapat."
"Mas, perut aku makin gak enak. Kayaknya mau lahir, mas."
"Ketubannya sudah pecah? Kalau belum, itu gara-gara semalem. Sudah, aku lagi rapat."
Perut Agni makin sakit luar biasa. Segera dia tekan no handphone dokter kandungannya.
*****
"Maaf menganggu. Pak Ari, ada telephone penting."
"Dari siapa?"
"Kurang tahu, pak."
"Bilang saya sedang sibuk."
"Kayaknya dari rumah sakit, pak."
"Saya kan sudah bilang. Saya sedang sibuk," dingin Ari kepada sekretarisnya.
"Bababaik, pak." kata sekretarisnya sambil menutup pintu ruangan rapat yang sedang berlangsung.
Toktoktoktok!!!
"Siapa lagi, sih? Bikin kacau rapat aja!" dumel Ari "Ya!"
"Maaf, pak. Anu pak, istri bapak masuk rumah sakit."
Ari segera menyudahi rapatnya. "To, bilang ke Pak Sanusi segera nyalakan mobil. Antarkan saya segera ke rumah sakit. Bilang itu ke Pak Sanusi!" perintah Ari kepada sekretarisnya.
*****
"Wuah...macet, pak," kata supirnya.
"Cari jalan tikus!"
"Baik, pak."
Ari cemas. Dia benar-benar mengkhawatirkan keadaan istrinya.
Perilaku yang dia perbuat ke istrinya selama ini bukan karena dia membecinya, melainkan dia bingung harus berbuat apa. Dia begitu jatuh cinta dengan istrinya. Mengagumi sosoknya yang sabar dan penuh pengertian. Dia cinta mati dengan Agni sejak Ijab Kabul bergema di hari pernikahannya.
*****
"Sus, antarkan saya ke pasien bernama Agni Mardawi," pinta Ari pada suster yang sedang ada di meja resepsionis.
"Maaf, pak. Siapa tadi namanya?"
"Agni Mardawi."
"Sebentar saya cek dulu di komputer."
Sambil suster mencari nama Agni Mardawi, Ari mengetuk-ngetuk jarinya di meja resepsionis. Tanda dia gelisah.
"Pak, nama Agni Mardawi ada di Ruang Bersalin IbuAnak. Bapak dari sini ke kiri, lurus terus, lalu belok ke kanan. Di sana tepat ruang bersalin, pak."
"Baik. Terima kasih."
Setengah berlari, Ari mulai mencari ruang bersalin. Tepat ketika berbelok ke kanan, seorang pasien yang telah meninggal dunia lewat di depannya. Dia terpaku. Membayangkan pasien tersebut adalah Agni. Langkah Ari semakin cepat.
"Sus, Agni Mardawi," cemas Ari ketika sampai di resepsionis ruang bersalin.
"Maaf, pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Agni, sus. Pasien yang namanya Agni Mardawi."
"Sebentar ya, pak. Saya cari dulu."
"Dari tadi saya diminta tunggu. Ini gak bisa lebih cepat apa?" kata Ari mulai emosi.
"Sabar ya, pak. Hari ini banyak sekali pasien yang baru masuk. Maaf pak, setelah saya telusuri tidak ada yang namanya Agni Mardawi."
"Loh?! Kata resepsionis di depan nama istri saya ada di rungan ini?"
"Oya? Coba saya telusuri sekali lagi."
Suster yang mencari mulai panik. Tidak ada nama yang diminta Ari.
"Halo, Jan. Ini namanya Agni Mardawi kata situ ada di rungan bersalin, tetapi gak ada tuh yang namanya itu ya?"
"Sebentar, jeung. Eike cari lagi."
"Buruan, ini suaminya..."
"Ada kok namanya Agni Mardawi."
"Masa, sih? Di ruangan apa? Coba kamu cek lagi. Di sini datanya gak ada."
"Di ruangan B53."
"Oh...thank u ya, jeung... Eh, nanti aku nebeng mobilmu ya..."
"SUSTER! ISTRI SAYA DIMANA?" teriak Ari
"Mamamamaf, pak. Ini istri bapak ada di..."
"Ari?!"
Ari menoleh, "Mama!"
"Ngapain kamu di sini? Udah gak sabar ya nimang anak? Agni bukan di ruangan ini. Ada di Ruang Teratai, sayang..."
"Hah? Loh? Dia melahirkan, mah?"
Sambil menghela napas panjang, ibunya berkata "Cepet kamu ke sana. Agni nungguin."
*****
Ari membuka ruangan tempat Agni diopname.
"Mas? Mas Ari ya?" tanya Agni lemah dari tempat tidurnya.
"Iya, sayang. Gimana keadaan kamu?" tanya Ari menghampiri tempat tidur Agni.
"Bodoh ya aku? Aku kira mau melahirkan, jadi ku telphone dokter. Eh, gak taunya perutku kena maagh akut gara-gara makan rujak semalem."
"Kamu..." kata Ari sambil menjentikan jarinya ke muka Agni.
"Bukannya kamu lagi rapat ya?"
Ari hanya tersenyum. Lalu tiba-tiba dia mencium kepala Agni "Buat kamu, apa sih yang gak."
"Mas..." air mata Agni mulai meleleh.
"Maafin aku ya, sayang... Sikap aku selama ini bikin kamu menderita," katanya sambil mencium punggung tangan Agni.
Agni hanya bisa menangis.
"Aku cuman bingung aja cara ngungkapin rasa cinta ke kamu."
"Mas, dengan ada calon anak kita di perut aku, ini tanda cinta kamu ke aku. Maafin aku selalu nuntut kamu macem-macem, mas." isak Agni.
"Di ruangan bersalin ada yang namanya sama kayak kamu." kata Ari tiba-tiba
"Iya, mas. Mama juga tadi hampir salah pas mau jenguk aku. Namaku pasaran banget ya?"
"Hehehe...ya begitulah," kekeh Ari "Nama anak kita nanti siapa ya?"
"Mmmm...belum tahu. Yang jelas harus ada nama kita berdua....Mardawi Suratpaja."
"Cewek apa cowok?"
"Belum tahu, mas. Aku gak pernah USG. Biar kejutan aja," kata Agni sambil tersenyum.
"Ainun atau Habibie saja namanya. Bagus, loh..." celetuk Mama yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Mama...bikin kaget. Mama emang fans sejati Habibie dan Ainun. Makanya terobsesi nama cucunya sama." jelas Agni.
"Bagus, kok. Ainun Mardawi Suratpaja, matanya Mardawi dan Suratpaja. Habibie Mardawi Suratpaja, kesayangan Mardawi dan Suratpaja," kata Ari sambil membelai rambut Agni.
Tiba-tiba saja Agni menjerit, "Mas, kayaknya ini beneran mau lahiran. Ketubanku berasa pecah."
Ari segera membuka selimut yang menutupi setengah badan Agni. Ya benar, ketuban Agni pecah. Ainun atau Habibie Mardawi Suratpaja segera menyapa dunia.
*****

Cla





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda