Senin, 14 April 2014

Semangat Darsinah

Bukan pilihanku menjadi anak petani bawang. Hidup sengsara sudah menjadi makanan sehari-hariku.
Kalau boleh memilih, aku ingin jadi anak pejabat kaya raya yang hartanya tidak pernah terbendung. Apa yang diinginkan pasti selalu terpenuhi.
Ingin sekolah, mudah. Tinggal pilih: mau di dalam atau luar negeri.
Ingin rasanya setiap pagi ku berangkat sekolah, bukan ke ladang.
Ya, perkenalkan, namaku Darsinah. Cukup panggil saya Darsi. Anak petani bawang yang putus sekolah.
*****
"Ini dibaca apa anak-anak..."sahut Raya, guru SD Mergoluyo
"SAPI..." sahut anak-anak
Aku rindu dengan Bu Raya. Guru berperawakan kecil tetapi cekatan. Aku rindu suaranya ketika sedang mengajarkan baca tulis.
Aku rindu teman-temanku. Saras, Emi, Yuli, dan Zul. Aku rindu SD Mergoluyo.
Aku benci dengan bapak ibu. Hanya berpendidikan rendah, makanya aku putus sekolah.
Di saat umurku 7 tahun, baru merasakan sekolah 2 tahun, aku terpaksa membantu mereka di ladang karena tidak ada biaya sama sekali.
Aku ingin kembali sekolah!
*****
"Darsi!!! Tolong bantu ibu mengangkut bawang merah ke gudang milik Pak Haji."
Baru saja tiba di ladang, ibu sudah menyuruhku ini itu. Perjalanan dari rumah ke ladang bukan main jauhnya. Ditambah panas menyengat, membuat kulitku menjadi perih.
"Nduk, tolong bantu ibu mengangkut bawang merah ini. Yang lain sedang di ladang, makanya tidak ada yang membantu."
"Sebentar, bu. Aku baru sampai. Aku haus."
Tanpa basa-basi, ibu segera mengeluarkan botol minumnya padaku "Ini, nak. Minum dulu."
Kuperhatikan raut muka ibu, tampak lelah. Matanya yang sayu menunjukan hidupnya yang penuh derita.
Ada sedikit rasa penyesalan aku datang siang ke ladang. Bukan karena aku malas, gara-gara Toto, adikku yang berusia 4 tahun, merajuk untuk ikut ke ladang. Tapi aku tidak mengizinkan karena baru saja dia sembuh dari sakitnya.
"Tadi Toto merajuk, bu. Mau ikut dia," kataku sambil menyeka keringat.
"Baru saja sembuh sakit. Nanti kalo sakit lagi, ibu bingung ngobatinnya kemana," keluh ibu.
Aku hanya diam saja.
"Yo wes, ayo angkut bawang-bawangnya. Nanti sampe gudang, dipilih-pilih lagi yang buruk dan bagus," kata ibu sambil mengikat gendongan bawang merah.
Aku hanya mengangguk dan terdiam. Kesal dan sedih rasanya harus selalu seperti ini.
*****
Tak terasa matahari mulai menghalaukan sinarnya. Hari telah sore. Terkadang memilih-milih bawang lebih capai dibandingkan bekerja di lapangan seharian.
Ibu mulai membereskan tampah-tampah bawang merah. Melihat dia seperti itu rasanya tidak tega, apalagi rambutnya yang mulai memutih.
"Ibu, nanti malam kita makan apa?" tanyaku
"Tempe. Ayo nduk, kita pulang."
"Bapak?" tanyaku lagi
"Bapak mau ke kota. Katanya ada perlu. Mau bantu-bantu pasangin spanduk Pak Haji yang jadi caleg katanya."
"Caleg itu opo, bu?"
"Calon legislatif. Calon pejabat, nduk."
"Wah...kalo Pak Haji terpilih, desa kita bakal makmur. Aku bisa sekolah lagi ya, bu?" tanyaku dengan antusias
"Aamiin. Mudah-mudahan ya, nduk," kata ibu sambil tersenyum tipis.
*****
"Darsi, kamu mau ikut aku ke Jakarta gak?" tanya Saras sahabatku
"Mau apa ke sana?"
"Jadi orang kaya. Kamu tau gak si Mala? Itu loh yang baru pulang dari Hongkong..."
"Iya, tau. Kenapa?"
"Sekarang kayanya bukan main dia. Gara-gara ke Jakarta, eh dia bisa ke Hongkong. Nih aku kemarin di kasih gantungan kunci Made in Hongkong," cerita Saras sambil memamerkan gantungan kunci pemberian Mala kepadaku
"Emangnya Hongkong dekat ya dengan Jakarta?" tanyaku
"Oala...jauhlah, Darsi... Jakarta itu di Indonesia, Hongkong di luar negeri, di Cina."
"Wih...hebat dia, kok bisa?" kataku takjub
"Aku juga gak tau. Katanya sih dia kerja jadi TKW gitu."
"Apa itu TKW?"
"Tenaga Kerja Wanita. Udah kamu tanya-tanya terus. Pusing aku. Wes, kamu mau gak ikut aku besok ke Jakarta?"
"Bingung aku. Aku gak mau ke Jakarta, cuman mau sekolah aku."
"Ya ampun Darsi...kalo kamu ke Jakarta, nanti kamu dapat duit banyak. Terus kamu bisa ngelanjutin sekolah. Lagipula ngapain kamu masih mau sekolah? Usia kamu tuh udah udah 15 tahun. Mau ngelanjutin kemana? SD? Malu kamu nanti paling tua. SMP? kamu ndak lulus SD, gak bisa itu. Udahlah Dar, sekarang mendingan kamu ikut aku ke Jakarta, cari duit sebanyak-banyaknya, terus kawin deh sama orang kaya. Kamu bisa beli macem-macem," cerocos Saras tanpa memperhatikan ekspresi mukaku yang sudah berubah kesal.
"Biarin saja! Aku ndak mau ke Jakarta. Aku mau sekolah!" tegasku sambil meninggalkan Saras sendirian.
Aku gak mau bernasib seperti Mala. Aku tahu kisah hidup dia sebenarnya di Hongkong.
*****
Hari ini aku tidak ke ladang. Aku lagi malas. Malas nanti bertemu Saras. Aku benci dengan dia. Menyepelekan sekolah.
"Mbak, bapak ibu mana? Aku lapar..." kata Toto mengagetkan lamunanku.
"Lagi ke ladang. Kita main ke TK saja gimana?" tawarku
"Boleh," katanya dengan senyum yang mengembang.
TK Putik adalah satu-satunya TK yang ada di kampungku. Didirikan oleh seorang yang dermawan karena prihatin melihat anak-anak di kampungku. TK-nya kecil dan terdapat arean bermain anak. Walaupun arena bermainnya hanya ayunan, perosotan, serta jungkat-jungkit tapi cukup menghibur anak-anak kecil di kampungku.
Aku senang melihat Toto tertawa lepas ketika sedang bermain. Rasa jenuh yang ada dipikiranku mendadak sirna melihat dia gembira. Lari-lari lincah ke sana kemari di arena bermain. Apalagi ketika bermain ayunan, badannya yang mungil seperti terbang menembus awan. Gelak tawanya yang khas, membuat aku pun ikut tertawa.
"Darsi? Ini Darsi?" tanya seseorang di belakangku.
Aku pun menengok ke belakang, "Ibu Raya!" jeritku
"Oala...bener berarti ibu. Sedang apa kamu?"
"Ini sedang menemani Toto, adik saya, bu," kataku dengan semangat.
"Gimana kabarmu?"
"Baik, ibu," kataku dengan senyum merekah.
Bu Raya masih seperti yang dulu. Kecil, cekatan, dan penuh pengertian. Paling perbedaannya sekarang dia menggunakan jilbab. Dia semakin cantik.
Tak kuasa kumenahan rindu pada Bu Raya, kami salin bertukar cerita. Hingga ada satu pertanyaan darinya yang membuatku terhenyak ingin menangis.
"Kamu mau sekolah lagi, Darsi?"
Pertanyaan itu yang membuat aku menangis, "Iya,bu," jawabku dengan sesenggukan.
"Kalau kamu mau melanjutkan, kamu bisa mengajukan beasiswa ke Dinas Pendidikan. Kamu mau?" tanyanya sekali lagi.
Dengan mantap, aku langsung mengangguk.
"Baiklah. Besok kita ke kota. Ibu temani dirimu ke dinas untuk mendapatkan beasiswa. Ini syarat-syarat yang harus kamu penuhi," kata Bu Raya sambil menyodorkan selembar kertas ke diriku.
Dengan secepat kilat, aku mengajak Toto untuk segera pulang ke rumah. Aku mau menyiapkan syarat-syaratnya.
*****
Ibu dan bapak bahagia mendengar berita dariku. Mereka pun turut membantu menyiapkan segalanya. Ibu menyiapakan pakaian terbaiku agar aku terlihat rapih. Bapak mengantarkanku menggunakan sepeda ontelnya ke rumah Bu Raya. Aku senang, langkah keinginanku untuk sekolah lagi akan segera terwujud.
"Cantik sekali kamu Darsi," puji Bu Raya
Aku hanya tersenyum saja dikaatakan begitu oleh beliau.
"Sudah makan kamu?"
"Sudah ibu," jawabku singkat.
"Baiklah, kita langsung saja ke kota."
Perjalanan ke kota kali ini sungguh berkesan. Tak sangka sekarang kota begitu ramai. Kanan kiri banyak dijumpai pertokoan. Suara dentuman dari speaker tukang video begitu memekakan telinga. Aku takjub dengan perubahannya cukup singkat.
Kami tiba disebuah bangunan pemerintahan. Bu Raya segera membayar angkutan yang kami tumpangi.
Mendadak lututku lemas. Wajahku pucat pasi. Aku gugup untuk memasuki bangunan ini.
"Tenang saja, Darsi. Bacalah doa agar dimudahkan langkahnya," kata Bu Raya.
"Bismillahhirohmanirahim," kataku dari dalam hati.
*****
Aku canggung. Aku murid tertua kelas 2 tertua di SD Mergoluyo. Usia murid yang rata-rata berusia 8 tahun, hanya aku yang berusia 15 tahun. Malu? tentu saja. Tapi sudahlah, tekat bulat untuk sekolah membendung rasa gengsiku.
"Mbak Darsi, kenapa tidak malu bersekolah bersama kami?" tanya anak kecil bernama Dirman yang sekelas denganku.
"Aku ingin sekolah." jawabku sambil tersenyum
"Cita-citanya mbak apa?" tanyanya lagi.
"Aku ingin seperti Bu Raya. Jadi guru. Kalau kamu?"
"Aku mau jadi polisi," jawabnya sambil menghormat kepadaku.
"Aku mau jadi dokter," sahut anak perempuan bernama Rita
"Aku nanti jadi jendral!" kata Rere penuh semangat
"Kalau aku mau jadi penyanyi, mbak! Biar nanti bisa kayak Ikke Nurjanah" sahut Suli
"Ya, InshaAllah pasti semua bisa jadi apa pun. Asal kita mau sekolah dan rajin belajar," kataku kepada mereka sambil mengepalkan tangan kanan ke udara.
"Aamiin," kata mereka serempak.
Walaupun perbedaan usia yang jauh, aku sangat senang bisa bersekolah dengan teman-teman kecilku. Kuperhatikan seluruh wajahnya, terpancar harapan masa depan yang lebih indah di matanya. Aku bersyukur bisa mewujudkan harapan dahulu yang kandas 'sekolah kembali'. Dengan sekolah aku tahu isi dunia. Aku ingin sekolah dan mewujudkan cita-cita muliaku sebagai guru. Aku hanya ingin membahagiakan  bapak, ibu, dan Toto. Aku ingin menggapai cita-citaku yang tertunda. Aku adalah Darsinah, petani bawang yang tak lelah menuntut ilmu.
"Mbak, aku nanti mau jadi presiden," sahut adikku, Toto.


Cla

Jumat, 11 April 2014

Mistis Manis

Aku hanya seorang perempuan berbaju putih, berambut panjang yang selalu duduk termenung di dahan pohon keluarga Soka. Keluarga yang tidak pernah tahu akan kehadiranku.Tapi keadaan berubah setelah kehadiran keluarga Darma.
Sejak hari ini, detik ini, keluarga Soka menjalin tali silaturahmi dengan keluarga Darma. Anak perempuan tertua keluarga Soka yang bernama Nasty menikahi anak laki-laki bungsu keluarga Darma, Wawan.
Nasty dan Wawan memang pasangan yang sangat ideal bagiku. Nasty yang bersikap kekanak-kanakan mampu berubah dengan sikap Wawan yang kebapaan. Mereka menjalin cinta sejak setahun yang lalu.
Aku memang bukan siapa-siapa di kelurga Soka. Aku hanya seorang penjaga di batang pohon kedondong halaman keluarga Soka. Ya biasanya, orang-orang menyebutku dengan nama Hantu Kuntilanak. Tapi aku gak suka dengan sebutan itu, aku tidak menganggu. Hanya menjaga keluarga Soka dari teman-teman sebangsaku yang usil.
Baiklah, aku akan menceritakan siapa diriku ini. Aku memang tembus pandang, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, dan terkadang selalu terkikik-kikik apabila hatiku sedang gembira. Ya aku bernama Lastri. Nama yang bagus bukan?
Keluarga Soka memang tidak bisa melihat kehadiranku, tetapi mereka sebenarnya tahu akan kehadiranku di halaman rumahnya. Aku pernah mencoba masuk ke dalam rumah keluarga Soka, apa daya tiba-tiba saja bayi Lana, menangis meraung-raung. Ya Lana, anak bungsu keluarga Soka.
Aku terkejut. Dan sejak saat itu aku tidak pernah masuk ke dalam rumah. Cukup berdiam di dahan pohon kedondong.
Tapi keadaan berubah setelah keluarga Darma datang membawa anak kecil laki-laki berwajah imut dan berpipi merah. Ya itu, itu adalah sepupu Wawan yang bernama Lintang.
Wajahnya yang selalu ceria, serta selalu tersenyum apabila dia melihat diriku sedang duduk melamun di dahan pohon. Dia senang dengan kehadiranku dan aku sayang padanya.
*****
Hari ini adalah hari yang membuat aku galau. Aku ingin memasuki rumah keluarga Soka dan bertemu dengan Lintang. Aku ingin berkenalan dengannya.
Kuberanikan diri untuk memasuki rumah. Kutembus pintu depan, ya sekarang aku sudah berada di ruang tamu. Tanganku gemetar hebat, aku ketakutan. Takut Lintang melihatku dan menjauh dariku.
Kubulatkan tekat untuk mencari Lintang di setiap sudut rumah.
Tidak kutemukan. Lintang tidak sedang di dalam rumah. Tiba-tiba saja di loteng ada suara gaduh.
Aku berjalan menembus langit-langit mencoba melirik ke loteng. Ternyata Lintang asik bermain sendiri di loteng rumah.
"Siapa kamu?" tanya Lintang sambil mengagetkanku. "Kamu mau bermain denganku?"
Aku tidak bisa menjawab, hanya anggukan saja yang bisa kuberikan padanya.
"Baiklah. Namaku Lintang. Kamu siapa?"
Lagi-lagi aku diam. Sepertinya mulutku terkunci dengan erat.
"Mmmm...baiklah akan kupanggil kau dengan Tante Puput karena kau berbaju putih." katanya sambil tersenyum
Owww....hatiku berasa ada di langit ketujuh. Aku bahagia luar biasa. Tanpa sadar aku tertawa terkikiki-kikik.
"Tante, jangan tertawa. Aku takut kalau kau tertawa."
Aku langsung terdiam dan kuberikan senyum termanisku.
Tanpa terasa aku bermain bersamanya hingga maghrib menjelang. Lintang tertidur pulas di atas pangkuanku. Aku menyayanginya.
*****
"Tante, kenapa ya aku dibawa ke sini? Padahal aku mau pulang ke rumah mama," tanya Lintang padaku.
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu.
"Tante, sayang kan sama aku?" tanyanya lagi
Aku mengangguk dengan pasti.
"Terima kasih, tante. Aku juga sayang sama tante," katanya sambil tersenyum penuh arti.
*****
Malam menjelang, aku kembali ke dahan pohon tempat tinggalku.
Kata-kata Lintang 'aku kangen mama', begitu membekas di hati. Aku penasaran mengapa ibunya meninggalkannya.
Oh...Lintang, aku begitu menyanyangimu
*****
"Wan, sampe kapan kamu kayak gitu terus! Aku cape!" jerit Nasty membangunkan tidurku.
"Maaf, sayang...aku benar-benar susah melupakan hal ini. Aku benci dengan keadaan seperti ini."
Ada apa ini? Aku baru pertama kali mendengar Nasty berteriak semarah ini.
"Cukup! Aku sudah tahu semua alasanmu. Aku cuman ingin dianggap sebagai istri yang sesungguhnya. Bukan seperti ini!" jerit Nasty sambil menangis.
"Sayang, kamu tetap istri aku. Aku benar-benar tulus mencintaimu."
"Diam! Cukup, Wan. Kalau kamu benar-benar cinta aku. Kamu bakar semua foto-foto Lastri!"
Lastri? Kok namanya sama denganku? Siapa dia?
"Aku gak bi...."
"Kamu bakar sendiri atau aku yang membakarnya?" tawar Nasty dengan penuh amarah
Sambil menghela napas, "terserah kamu," kata Wawan sambil memukul-mukul kepalanya.
Aku sedih mendengar pertengkaran di pagi hari ini. Tidak biasanya ada aura kemarahan di dalam keluarga Soka. Aku penasaran dengan sosok yang bernama Lastri. Sosok yang hampir meruntuhkan keharmonisan keluarga Soka dan Darma.
Akan kucari siapa itu Lastri.
*****
Abu pembakaran beterbangan di halaman rumah. Aku melihat Wawan membakar-bakar kertas berwarna dan menatap api dengan pandangan nanar.
Nasty disebelahnya dengan pandangan kosong.
Aku penasaran dengan apa yang mereka bakar.
Kudekati abu pembakaran. Ada selembar foto yang belum terbakar sempurna. Kumelihat ada sosok wanita cantik berambut sebahu dengan menggendong anak bayi laki-laki mungil. Wanita ini dirangkul oleh seorang, entah pria atau wanita karena sebagain foto tersebut sudah terbakar.
Kuperhatikan dengan seksama foto tersebut. Aku ingat, bayi itu Lintang. Lalu siapa wanita itu? Aku tidak mengenalnya.
Kusimpan sebagian foto itu sebagai kenang-kenangan karena ada Lintang di dalamnya.
*****
"Tante...kamu lagi di atas pohon?" teriak Lintang dari bawah pohon.
Aku terbangun dan segera menghampiri Lintang.
"Tante...aku kangen sama tante," katanya sambil tersenyum padaku
Aku pun membalas senyumannya. Lalu kupeluk Lintang.
"Tante, jangan tinggalkan aku lagi ya? Aku takut kalau sendirian," pinta Lintang.
Aku mengangguk.
*****
"Pa, aku gak tahan kalau Wawan selalu begini," isak Nasty kepada ayahnya, Pak Soka.
"Kenapa, nak? Kamu harus kuat. Ini cobaan dalam berumah tangga," tenangnya.
"Tapi Wawan gak bisa melupakan Lastri, pah. Aku cemburu."
"Nak, kamu tidak boleh begitu. Apa kamu tidak ingat pesan Lastri padamu?"
Nasty hanya menggeleng
"Lastri sayang sama kamu."
Nasty kembali terisak.
Baru pertama kali ku melihat Nasty menangis sesenggukan di bahu Pak Soka. Ada apa ini?
"Nak, Lastri itu kembaran kamu. Kamu tidak boleh kamu benci dengan kembaranmu. Dia sayang kamu dan kamu pun harus sayang dia," kata Pak Soka sambil mengejutkan diriku.
Lastri kembaran Nasty? Semakin diriku bertanya-tanya.
"Aku tahu, pa. Tapi Wawan masih mencintai Lastri. Dia melihatku bukan sebagai Nasty, tapi sebagai Lastri. Aku sakit hati," isak Nasty.
Pak Soka hanya menatap Nasty dengan iba. Aku pun tak kuasa menitikan air mata melihat Nasty seperti itu.
Nasty yang cantik dan populer ternyata begitu rapuh dengan cinta. Wawan yang dicintainya ternyata tak cukup membalas penuh cintanya.
Aku termenung tak kuasa mengingat sosok Lastri. Aku sama sekali tidak ingat Lastri ternyata saudara kembar Lastri. Yang kuingat keluarga Pak Soka hanya terdiri dari: Pak Soka, Bu Soka, Nasty, dan Lana. Lastri benar-benar tidak ada dalam benang memoriku.
Tiba-tiba saja terdengar alunan lagu 'Twinkle Twinkle Little Star' dari dalam kamar Lintang. Lagu yang sering dinyanyikan oleh anak perempuan kembar Pak Soka ketika mau tidur.
Tunggu! Aku mulai ingat peristiwa keluarga Soka. Aku ingat Lastri. Seseorang yang sering bermain denganku di atas loteng. Ya, Lastri yang tahu keberadaanku. Lastri kembaran Nasty yang begitu rapuh.
*****
"Enes...kamu jahat sama aku! Masa kamu berantakin baju Achi!"
"Hehehe...maaf Achi, abis Enes buru-buru tadi. Jadi aja semua baju Achi di lemari ketarik semua."
"Nes, kamu sibuk gak? Aku mau curhat."
"Curhat apaan, sih? Pasti si Wawan lagi. Bosen, ah..."
"Ih, jangan gitu. Tadi Wawan ngajak Achi buat malam mingguan, Nes. Achi bingung mau pake baju apa. Enes sebagai si remaja populer pasti tahu dong Achi kudu pake baju apa..." pinta Achi.
"Wani piro..."
"Jahat, ih...masa sama kembaran sendiri ada pajaknya," jerit Achi
"Hahaha...becanda atuh, Ci. Ya udah, kalo gitu jajanin Enes bakso Mang Pardi. Gimana?"
"Huh, tetep aja ada pajaknya. Ya udah, deh. Besok tapi ya?"
"Siap, bos!"
Setiap pagi selalu saja ada keributan kecil antara Achi dan Enes, anak kembar Pak Soka.
Aku si penunggu pohon kedondong halaman keluarga Soka selalu bising dengan keributan-keributan yang ditimbulkan oleh si kembar. Entah masalah baju, musik, acara televisi, hingga makanan selalu saja dipermasalahkan. Tapi entah mengapa aku betah tinggal di sekitar keluarga Soka. Penuh dengan kehangatan.
Lambat-laun, seiring bertambahnya tahun, si kembar semakin dewasa. Achi dan Enes pun semakin matang akan cinta. Enes yang populer, tidak peduli dengan para lelaki yang mendekatinya. Tapi Achi tetap setia dengan Wawan.
Suatu hari, Achi dan Enes bertengkar hebat. Achi memutuskan menikah muda dengan Wawan, tapi Enes tidak setuju. Pak Soka pun lebih memberikan restu kepada Achi untuk segera menikah dengan Wawan. Enes kabur dari rumah.
Achi sedih, tapi apa daya cinta mengalahkan semuanya. Cinta matinya pada Wawan telah menutup tali persaudaraan dengan Enes. Walaupun begitu, Achie tetap menantikan Enes datang kembali ke rumahnya. Hingga suatu hari, Achie hamil anak pertama. Enes tak kunjung datang.
Anak laki-laki mungil yang diberi nama Lintang ternyata sedikit meluluhkan hati Enes. Dia datang untuk sekedar menjenguk keponakan barunya. Tapi bukan untuk bertemu dengan Achi.
Rasa rindu yang dipendam oleh Achi kepada Enes selama bertahun-tahun, tentu saja membuat dirinya menjadi rapuh. Fisiknya pun pada akhirnya tumbang, Achi terkena kanker hati. Kebahagian Achi dan Wawan tidak lama, Achi akhirnya menyerah pada penyakitnya. Berita kematian Achi, membuat Enes bersalah luar biasa. Dia akhirnya pulang kembali kekehangatan keluarga Soka.
Bertahun-tahun rasa bersalah Enes tak kunjung hilang. Hingga akhirnya Enes menemukan sepucuk surat terselip di dahan pohon kedondong dari Achi.

Dear Enes,
Maafin Achi, Enes. Achi benar-benar menyesal tidak tahu isi hati Enes. Achi semalam bertemu dengan teman Enes, Prita. Dia cerita jadi selama ini Enes sayang sama Wawan. Achi shock dengernya. Achi gak pernah nyangka kalo kita berdua mencintai orang yang sama. Demi Achi, Enes akhirnya menjauh. Enes rela keluar dari rumah karena takut merusak rumah tangga Achi dan Wawan. Achi baru tahu kalau selama ini Enes selalu menanyakan kesehatan Achi ke Papa, Mama, dan Lana. Achi gak nyangka kalo Enes begitu peduli sama Achi. Bahkan Enes menjadi donor Achi ketika Achi koma abis ngelahirin Lintang gara-gara pendarahan hebat. Enes sudah nolong nyawa Achi untuk bisa melihat Lintang. 
Enes, maafin Achi yang selalu berburuk sangka sama Enes. Maafin Achi juga yang gak peka kalau kita mencintai orang yang sama. Terima kasih Enes sudah mengalah untuk kesekian kalinya buat Achi.
Enes, Achi boleh minta tolong? Bisakah Enes menggantikan Achi sebagai istri dari Wawan dan ibu bagi Lintang? Achi sudah gak sanggup bertahan sama penyakit Achi. Kanker yang diderita Achi sudah menguasai tubuh Achi. Achi ingin melihat Enes, Wawan, dan Lintang bahagia. Sayangi mereka seperti Enes mencintai Achi.

Love Achi
*****
Lagu 'Twinkle Twinkle Little Star' telah membawa ingatanku kembali akan persitiwa keluarga Soka. Lastri dan Nasty anak kembar Pak Soka yang mencintai satu pria yang sama. Adanya ikatan batin antara Lastri dan Nasty, membuat mereka saling berkorban.
Aku ingat, mengapa aku begitu menyukai sosok Lintang yang selalu bermain di atas loteng? karena dia begitu mirip dengan ibunya, Lastri. Teman manusiaku yang mampu melihat diriku. 
"Halo tante, namamu siapa? Aku Lastri," kata Lastri kecil saat bermain di loteng seorang diri.
Sejak perkenalanku pertama kali dengan Lastri, akhirnya aku memutuskan namaku menjadi Lastri. 

Cla