Senin, 14 April 2014

Semangat Darsinah

Bukan pilihanku menjadi anak petani bawang. Hidup sengsara sudah menjadi makanan sehari-hariku.
Kalau boleh memilih, aku ingin jadi anak pejabat kaya raya yang hartanya tidak pernah terbendung. Apa yang diinginkan pasti selalu terpenuhi.
Ingin sekolah, mudah. Tinggal pilih: mau di dalam atau luar negeri.
Ingin rasanya setiap pagi ku berangkat sekolah, bukan ke ladang.
Ya, perkenalkan, namaku Darsinah. Cukup panggil saya Darsi. Anak petani bawang yang putus sekolah.
*****
"Ini dibaca apa anak-anak..."sahut Raya, guru SD Mergoluyo
"SAPI..." sahut anak-anak
Aku rindu dengan Bu Raya. Guru berperawakan kecil tetapi cekatan. Aku rindu suaranya ketika sedang mengajarkan baca tulis.
Aku rindu teman-temanku. Saras, Emi, Yuli, dan Zul. Aku rindu SD Mergoluyo.
Aku benci dengan bapak ibu. Hanya berpendidikan rendah, makanya aku putus sekolah.
Di saat umurku 7 tahun, baru merasakan sekolah 2 tahun, aku terpaksa membantu mereka di ladang karena tidak ada biaya sama sekali.
Aku ingin kembali sekolah!
*****
"Darsi!!! Tolong bantu ibu mengangkut bawang merah ke gudang milik Pak Haji."
Baru saja tiba di ladang, ibu sudah menyuruhku ini itu. Perjalanan dari rumah ke ladang bukan main jauhnya. Ditambah panas menyengat, membuat kulitku menjadi perih.
"Nduk, tolong bantu ibu mengangkut bawang merah ini. Yang lain sedang di ladang, makanya tidak ada yang membantu."
"Sebentar, bu. Aku baru sampai. Aku haus."
Tanpa basa-basi, ibu segera mengeluarkan botol minumnya padaku "Ini, nak. Minum dulu."
Kuperhatikan raut muka ibu, tampak lelah. Matanya yang sayu menunjukan hidupnya yang penuh derita.
Ada sedikit rasa penyesalan aku datang siang ke ladang. Bukan karena aku malas, gara-gara Toto, adikku yang berusia 4 tahun, merajuk untuk ikut ke ladang. Tapi aku tidak mengizinkan karena baru saja dia sembuh dari sakitnya.
"Tadi Toto merajuk, bu. Mau ikut dia," kataku sambil menyeka keringat.
"Baru saja sembuh sakit. Nanti kalo sakit lagi, ibu bingung ngobatinnya kemana," keluh ibu.
Aku hanya diam saja.
"Yo wes, ayo angkut bawang-bawangnya. Nanti sampe gudang, dipilih-pilih lagi yang buruk dan bagus," kata ibu sambil mengikat gendongan bawang merah.
Aku hanya mengangguk dan terdiam. Kesal dan sedih rasanya harus selalu seperti ini.
*****
Tak terasa matahari mulai menghalaukan sinarnya. Hari telah sore. Terkadang memilih-milih bawang lebih capai dibandingkan bekerja di lapangan seharian.
Ibu mulai membereskan tampah-tampah bawang merah. Melihat dia seperti itu rasanya tidak tega, apalagi rambutnya yang mulai memutih.
"Ibu, nanti malam kita makan apa?" tanyaku
"Tempe. Ayo nduk, kita pulang."
"Bapak?" tanyaku lagi
"Bapak mau ke kota. Katanya ada perlu. Mau bantu-bantu pasangin spanduk Pak Haji yang jadi caleg katanya."
"Caleg itu opo, bu?"
"Calon legislatif. Calon pejabat, nduk."
"Wah...kalo Pak Haji terpilih, desa kita bakal makmur. Aku bisa sekolah lagi ya, bu?" tanyaku dengan antusias
"Aamiin. Mudah-mudahan ya, nduk," kata ibu sambil tersenyum tipis.
*****
"Darsi, kamu mau ikut aku ke Jakarta gak?" tanya Saras sahabatku
"Mau apa ke sana?"
"Jadi orang kaya. Kamu tau gak si Mala? Itu loh yang baru pulang dari Hongkong..."
"Iya, tau. Kenapa?"
"Sekarang kayanya bukan main dia. Gara-gara ke Jakarta, eh dia bisa ke Hongkong. Nih aku kemarin di kasih gantungan kunci Made in Hongkong," cerita Saras sambil memamerkan gantungan kunci pemberian Mala kepadaku
"Emangnya Hongkong dekat ya dengan Jakarta?" tanyaku
"Oala...jauhlah, Darsi... Jakarta itu di Indonesia, Hongkong di luar negeri, di Cina."
"Wih...hebat dia, kok bisa?" kataku takjub
"Aku juga gak tau. Katanya sih dia kerja jadi TKW gitu."
"Apa itu TKW?"
"Tenaga Kerja Wanita. Udah kamu tanya-tanya terus. Pusing aku. Wes, kamu mau gak ikut aku besok ke Jakarta?"
"Bingung aku. Aku gak mau ke Jakarta, cuman mau sekolah aku."
"Ya ampun Darsi...kalo kamu ke Jakarta, nanti kamu dapat duit banyak. Terus kamu bisa ngelanjutin sekolah. Lagipula ngapain kamu masih mau sekolah? Usia kamu tuh udah udah 15 tahun. Mau ngelanjutin kemana? SD? Malu kamu nanti paling tua. SMP? kamu ndak lulus SD, gak bisa itu. Udahlah Dar, sekarang mendingan kamu ikut aku ke Jakarta, cari duit sebanyak-banyaknya, terus kawin deh sama orang kaya. Kamu bisa beli macem-macem," cerocos Saras tanpa memperhatikan ekspresi mukaku yang sudah berubah kesal.
"Biarin saja! Aku ndak mau ke Jakarta. Aku mau sekolah!" tegasku sambil meninggalkan Saras sendirian.
Aku gak mau bernasib seperti Mala. Aku tahu kisah hidup dia sebenarnya di Hongkong.
*****
Hari ini aku tidak ke ladang. Aku lagi malas. Malas nanti bertemu Saras. Aku benci dengan dia. Menyepelekan sekolah.
"Mbak, bapak ibu mana? Aku lapar..." kata Toto mengagetkan lamunanku.
"Lagi ke ladang. Kita main ke TK saja gimana?" tawarku
"Boleh," katanya dengan senyum yang mengembang.
TK Putik adalah satu-satunya TK yang ada di kampungku. Didirikan oleh seorang yang dermawan karena prihatin melihat anak-anak di kampungku. TK-nya kecil dan terdapat arean bermain anak. Walaupun arena bermainnya hanya ayunan, perosotan, serta jungkat-jungkit tapi cukup menghibur anak-anak kecil di kampungku.
Aku senang melihat Toto tertawa lepas ketika sedang bermain. Rasa jenuh yang ada dipikiranku mendadak sirna melihat dia gembira. Lari-lari lincah ke sana kemari di arena bermain. Apalagi ketika bermain ayunan, badannya yang mungil seperti terbang menembus awan. Gelak tawanya yang khas, membuat aku pun ikut tertawa.
"Darsi? Ini Darsi?" tanya seseorang di belakangku.
Aku pun menengok ke belakang, "Ibu Raya!" jeritku
"Oala...bener berarti ibu. Sedang apa kamu?"
"Ini sedang menemani Toto, adik saya, bu," kataku dengan semangat.
"Gimana kabarmu?"
"Baik, ibu," kataku dengan senyum merekah.
Bu Raya masih seperti yang dulu. Kecil, cekatan, dan penuh pengertian. Paling perbedaannya sekarang dia menggunakan jilbab. Dia semakin cantik.
Tak kuasa kumenahan rindu pada Bu Raya, kami salin bertukar cerita. Hingga ada satu pertanyaan darinya yang membuatku terhenyak ingin menangis.
"Kamu mau sekolah lagi, Darsi?"
Pertanyaan itu yang membuat aku menangis, "Iya,bu," jawabku dengan sesenggukan.
"Kalau kamu mau melanjutkan, kamu bisa mengajukan beasiswa ke Dinas Pendidikan. Kamu mau?" tanyanya sekali lagi.
Dengan mantap, aku langsung mengangguk.
"Baiklah. Besok kita ke kota. Ibu temani dirimu ke dinas untuk mendapatkan beasiswa. Ini syarat-syarat yang harus kamu penuhi," kata Bu Raya sambil menyodorkan selembar kertas ke diriku.
Dengan secepat kilat, aku mengajak Toto untuk segera pulang ke rumah. Aku mau menyiapkan syarat-syaratnya.
*****
Ibu dan bapak bahagia mendengar berita dariku. Mereka pun turut membantu menyiapkan segalanya. Ibu menyiapakan pakaian terbaiku agar aku terlihat rapih. Bapak mengantarkanku menggunakan sepeda ontelnya ke rumah Bu Raya. Aku senang, langkah keinginanku untuk sekolah lagi akan segera terwujud.
"Cantik sekali kamu Darsi," puji Bu Raya
Aku hanya tersenyum saja dikaatakan begitu oleh beliau.
"Sudah makan kamu?"
"Sudah ibu," jawabku singkat.
"Baiklah, kita langsung saja ke kota."
Perjalanan ke kota kali ini sungguh berkesan. Tak sangka sekarang kota begitu ramai. Kanan kiri banyak dijumpai pertokoan. Suara dentuman dari speaker tukang video begitu memekakan telinga. Aku takjub dengan perubahannya cukup singkat.
Kami tiba disebuah bangunan pemerintahan. Bu Raya segera membayar angkutan yang kami tumpangi.
Mendadak lututku lemas. Wajahku pucat pasi. Aku gugup untuk memasuki bangunan ini.
"Tenang saja, Darsi. Bacalah doa agar dimudahkan langkahnya," kata Bu Raya.
"Bismillahhirohmanirahim," kataku dari dalam hati.
*****
Aku canggung. Aku murid tertua kelas 2 tertua di SD Mergoluyo. Usia murid yang rata-rata berusia 8 tahun, hanya aku yang berusia 15 tahun. Malu? tentu saja. Tapi sudahlah, tekat bulat untuk sekolah membendung rasa gengsiku.
"Mbak Darsi, kenapa tidak malu bersekolah bersama kami?" tanya anak kecil bernama Dirman yang sekelas denganku.
"Aku ingin sekolah." jawabku sambil tersenyum
"Cita-citanya mbak apa?" tanyanya lagi.
"Aku ingin seperti Bu Raya. Jadi guru. Kalau kamu?"
"Aku mau jadi polisi," jawabnya sambil menghormat kepadaku.
"Aku mau jadi dokter," sahut anak perempuan bernama Rita
"Aku nanti jadi jendral!" kata Rere penuh semangat
"Kalau aku mau jadi penyanyi, mbak! Biar nanti bisa kayak Ikke Nurjanah" sahut Suli
"Ya, InshaAllah pasti semua bisa jadi apa pun. Asal kita mau sekolah dan rajin belajar," kataku kepada mereka sambil mengepalkan tangan kanan ke udara.
"Aamiin," kata mereka serempak.
Walaupun perbedaan usia yang jauh, aku sangat senang bisa bersekolah dengan teman-teman kecilku. Kuperhatikan seluruh wajahnya, terpancar harapan masa depan yang lebih indah di matanya. Aku bersyukur bisa mewujudkan harapan dahulu yang kandas 'sekolah kembali'. Dengan sekolah aku tahu isi dunia. Aku ingin sekolah dan mewujudkan cita-cita muliaku sebagai guru. Aku hanya ingin membahagiakan  bapak, ibu, dan Toto. Aku ingin menggapai cita-citaku yang tertunda. Aku adalah Darsinah, petani bawang yang tak lelah menuntut ilmu.
"Mbak, aku nanti mau jadi presiden," sahut adikku, Toto.


Cla

1 Komentar:

Pada 4 Maret 2022 pukul 10.45 , Blogger saekozajic mengatakan...

The Top 10 Casinos in Las Vegas - MapYRO
서울특별 출장마사지 casinos 삼척 출장샵 › the-top 여수 출장안마 10 casinos in 이천 출장샵 las vegas 순천 출장안마

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda