Kamis, 14 Agustus 2014

Musisi Kampung

"Cita-cita Adi nanti jadi musisi. Doakan ya teman-teman bial telcapai," seru Adi saat menceritakan cita-citanya di kelas 1 SD.
Sekarang...
"ADI!!! KEMANA LU!" teriak Mak Noriyah.
Katakan, ooo...pada mama, ooo...cinta bukan hanya harta dan tahta...
Pastikan, ooo...pada semua, ooo...hanya cinta yang sejukan dunia....
Bukan itu mama...bukan itu papa...bukan itu mama...
Hanya lagu Cukup Siti Nurbaya saja yang terdengar dari kamar Adi. Pemiliknya, tidur mangkrak di lantai kamar.
"YA ALLAH, GUSTI NU AGUNG!! Eta kamar siga kapal pecah kieu, Di," pekik Mak Noriyah.
Sambil menguap, Adi cuman buka mata sebentar. Lalu melanjutkan tidurnya.
"ADI! BANGUN!!! INI UDAH JAM BERAPA?"
Hmmm...hanya begitu saja jawaban dari Adi.
Tiba-tiba saja Mak Noriyah menyiramkan segayung air dingin ke tubuh si Adi.
"MAK! AMPUN!!!" jerit Adi sambil gelagapan.
"Makanya bangun, ADI.... Kamu kan harus sekolah sekarang."
Sambil manyun disertai baju yang kuyup, Adi bergegas siap-siap berangkat sekolah.
Pagi-pagi yang penuh tragedi...
*****
Adi Basuki, seorang anak SMA kelas 2 yang bercita-cita jadi musisi. Adi bukanlah murid yang bodoh, tetapi karena kesungguhan cita-citanya, Adi selalu mendapatkan nilai minim. Yang ada di otaknya bukanlah matematika, fisika, kimia, ataupun ilmu sosial, tetapi rangkaian kata-kata lirik lagu. Entah lirik lagu milik penyanyi ataupun lirik amburadul ciptannya sendiri. Saking terobsesinya menjadi musisi, Adi bersungguh-sungguh untuk mendapatkan sekolah musik di luar negeri. Memang keren semangatnya, tetapi tetap saja nilai-nilai mata pelajaran lain membuat yang melihat langsung menutup matanya rapat-rapat. Nilainya sungguh hancur lebur.
"Eh, musisi gadungan! Pasti lu belum buat PR Fisika, dah..." tanya Bontet, teman sebangkunya.
Sekilas Adi melirik pada Bontet, "Enak aja, lu!. Dari kapan taun dah ngerjain PR-nya si Pak Jodi."
"Kayaknya hari ini bakal ujan deres, deh?" serius Bontet.
"KAMPRET!" teriak Adi.
Bontet dan Adi memang dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Dari SD sampai SMA selalu satu sekolah, bahkan sekelas. Nama aslinya Eka Parestu. Entah kenapa nama bagus-bagus dipanggilnya jadi Bontet. Bontet ini orangnya cerdasnya luas biasa. Dia tidak pernah mengerjakan PR, sekolah malas-malasan, tetapi selalu dapat nilai yang fantastis. Hampir tidak pernah lepas dari angka 8 tertawa. Intinya Bontet dan Adi sama-sama murid nilai mangkrak.
Ada satu hal yang dikagumi Adi perihal Bontet. Biarpun nilai-nilainya anjlok, tapi kalau sudah soal komputer, ngalahin hacker terhebat di dunia. Jago banget berkutit sama software-sofware yang bikin otak Adi ngepul kalau membahasnya. Dia ini bergabung sama 'Hapek', Himpunan Pecinta Komputer. Kalau sudah bahas komputer, berasa lagi asyik berduan sama pacarnya.
Ups...ngomong-ngomong soal pacar, Adi termasuk pejuang cinta. Selalu saja menebarkan cinta pada teman-teman wanitanya, tetapi sayangnya selalu ditolak. Lain sama Bontet. Biarpun namanya Bontet, dia berperawakan seperti Nickholas Saputra. Sorot mata tajam, rambut kriwil, tapi badannya buntet. Berkat keunikannya ini, Bontet digilai cewek-cewek di sekolahnya. Biarpun penggemarnya segudang, dia tetap setia pada pacarnya sekarang, Ledilai. Cewek termungil dan terimut di sekolahnya.
Kita balik lagi ke tokoh utama, Adi. Ya si Adi ini, biarpun selalu ditolak cintanya, dia mempunyai Secret Admirer. Namanya Dara. Orangnya manis, tetapi sayangnya pendiam bangetttt...jadi kesilep sama cewek-cewek populer yang hobi cekikikan ngegosip hal-hal gak jelas.
Adi gak pernah tahu kalau si Dara ini ngefans berat sama dia. Bukan karena nilainya yang selalu anjlok, tetapi pembawannya yang uniklah yang membuat Dara begitu memujanya. Adi dan Dara pecinta musik sejati.
"Di, mau denger lagu baru ciptaanku gak?" tawar Dara.
"Lagu apaan, Nona Manis..."
Langsung saja Dara diam. Entah malu atau senang dia dipanggil 'Nona Manis'.
"Eh, kok malah diem. Lagu apaan, Dar?"
"Ini...lagu...ererererer..."
"Coba sini nyanyiin sedikit, Dar. Gua mau denger."
Tambah diamlah si Dara.
"Ye...diem lagi si bocah. Udah ah, eike mau dengerin lagu Kla Project dulu," kata Adi sambil bergaya ala-ala banci.
"TUNGGU!" jerit Dara.
Adi langsung saja duduk di samping Dara sambil berpangku tangan ke meja, "Ayo, nyanyiin lagunya," kata Adi sambil tersenyum.
'Bagaimana cahaya datang? dengan sinar mentari. Bagaimana air datang? dengan laut yang terhempas. Bagaimana daun datang? dengan hembusan angin. Ooooo...bagaimana kamu datang? dengan cinta...
Cinta yang hilang, datang merajam hati kembali. Kubuka, kubuka, pikiran ini dengan jernih. Angin...ooo...bawalah kebencianku hingga tak terlihat lagi. Aku lah hawa yang kau cari? Apa hanya emosimu saja? Tak percaya, tak percaya...'
Dara terdiam.
"Loh, kok? Gak diterusin?"
"Udah, kok. Cuman segitu, Di." jawabnya singkat. "Bagus gak?"
Adi diam termenung.
"Mmm...gimana ya?"
"Kenapa? Jelek ya?"
"Suaramu bagus, Dar. Tapi...duh, gak tega gua ngomongnya," kata Adi sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Jujur aja, Di. Gua gak marah, kok," kata Dara sambil tersenyum kecut.
"Lagu ciptaanmu dangdut banget, Dar. Terlalu hambar dan biasa-biasa aja. Kayak lagu alay-alay gitu. Maaf..." jelas Adi sambil memasang wajah paling imut.
Dara diam. Terlihat wajahnya mengguratkan kesedihan. "Gak apa-apa, kok. Makasih dah bilang suaraku bagus."
Tiba-tiba saja muncul ide cemerlang dipikiran Adi.
"Dar, mau gak kolaborasi sama gua?"
Dara bingung. "Kolaborasi apaan?"
"Kita duet."
Dara semakin bingung.
"Iya, duet. Elu yang nyanyi, gua yang nyiptain lagunya. Gimana?"
"Komposernya?"
"Lu bisa main musik apa?"
"Piano, gitar."
"Ok. Komposernya kita berdua. Gua bisa maen gitar. Bahkan mengalahkan Jimi Hendrik," sombong Adi sambil bergaya ala Jimi Hendrik.
Dara tertawa kecil.
"Besok lu harus dengerin lagu-lagu ciptaan gua. Gua dah buat berapa bundel, tuh."
Dara hanya mengangguk.
"Don't forget! Besok ya, jam istirahat. Ya udah, gua mau ke si Bontet dulu. Ada urusan para lelaki ini. Bye..."
Dara tersenyum bahagia.
*****
"Judulnya: Warna Pudar. Dengerin, ya..." kata Adi kepada Dara sambil memetik gitar kesayangannya.
'Pelangiiiii...ooo pelangi...cemerlang warnamu, pancarkan bahagia. Kau lukiskan di langit biru, kau goreskan warnanya di hujan sendu. Dua sejoli...mencari, mencari cinta yang terhempas. Dua sejoli...menjalin cerita, yang lebih bermakna. 
Goreskan warna yang cerah pada kertas itu, lukiskan saja pada hidupmu...
Campurkan saja warna yang ceria, hilangkan warna yang muram...
Pelangiiii...ooo pelangi...lukisan indah, dari tangan Tuhan. Pelangi...ooo pelangi...lambang cinta umat manusia.
Tak kan pudar warna-warninya...senantiasa, mengembun di udara...
Pelangiiii...ooo pelangi...warnamu pudar, ditelan sang mentari...
Pelangiiii...ooo pelangi...dua sejoli saling merindu indah'
"Hihihi...," Dara tertawa mendengar lagu ciptaan Adi.
"Lah? Baguskan?"
"Hihihi...dangdut juga lagunya. Tapi komposernya bagus, Di. Gua suka. Tapi coba dibagian Reff-nya dibuat lebih sedikit ceria. Pasti bagus jadinya," saran Dara sambil menutup mulutnya karena masih geli.
"Baiklah. Ini lagu andalan gua selanjutnya."
'Romansa di tanah lapang...
Membias hati merayu...
Adam dan Hawa saling bertautan. Tatapan matanya saling mengadu.
Senandung ini kuciptakan...untuk pelipur lara hati yang gundah...
Mari berlari semangatkan jiwa, mengarungi samudra luas
Lalala...lalala...lalala...lalala...
Gelombang cinta di radio sendu
Mengalun lagu yang renyah...
Terdengar tawa menyentuh jiwa, dari bibir sang mata kelabu.
Hai, halo...kamu yang di sana...jangan terus bernestapa...Mari berdansa...
Romansa di tanah lapang...
Membawa angin surga ke lembah derita.
Adam dan Hawa saling berpegangan. Melihat lembayung jingga merona.'
"Judulnya apa, Di?
"Romansa Ceria," katanya sambil tersenyum
"Bagus. Gua suka. Tapi coba komposernya dibuat lebih oldies lagi, model-model lagunya White Shoes and The Couples Company. Pasti lebih enak didengar," saran Dara.
Adi manggut-manggut. "Elu emang soulmate gua, dah. Pengetahuan musik lu, emang caur."
Senyum simpul ditunjukan oleh Dara. "Sini, coba gua pinjem gitarnya. Gua coba nyanyiin versi diri sendiri. Liat juga liriknya. Gak apal."
Jreng...Dara mulai menyanyikan lagu Romansa Ceria versi dirinya. Lebih indah dari yang dibawakan. Adi terpesona.
*****
"Di, lu jadian ya sama si Dara?" tanya Bontet sambil ngutak-ngatik handphone barunya.
"Kagak." singkat Adi sambil mencoret-coret buku Matematika dengan note lagu.
"Dusta, lu. Sering banget gua liat elu berduaan sama si Dara pas istirahat. Mana sambil cekikikan lagi."
"Ye...elu pasti kecanduan gosip-gosip si kelompok cewek-cewek somplak, dah!"
"Gua kemarin liat elu kali ketawa-ketawa sama si Dara sambil gonjrang-gonjreng gitar. Dasar musisi kampung."
Adi menghentikan kegiatannya. "Gua sama dia punya projek rahasia tentang musik. Hanya pecinta musiklah yang tahu kegiatannya. Kalo buat elu si pecinta komputer, gak akan ngarti."
"Semprul!" kata Bontet sambil menjambak rambut Adi. "Eh Di, gue ada gosip-gosip, nih."
"Nah..benerkan kata gue, elu jadi model-model kayak si Tina cs. Doyan gosip."
"Ini gua serius, Nyet. Dengerin dulu! Tentang masa depan kita berdua."
"Musik?"
"Ya."
"Apaan?"
"Bakal ada pensi nanti bulan desember."
"Beuh...gua kirain apa. Gak seru, ah. Pensi mah bukan acara untuk seorang musisi, tapi lebih cenderung ke alayers. Lagu-lagu yang dibawain bukan selera gua, Tet."
"Itu dia! Gue mau ngajak elu sama Dara buat kolaborasi."
"Hahaha...elu mau nyanyi? Apa mau nyiptain lagu? Tuna nada gitu," leceh Adi sambil ketawa-ketawa.
"Bukan, Nyet! Sini gue bisikin rencana besar kita."
Pst...st...st...pst...st...st...
"Ok. Gue setuju!" jawab Adi sambil berjabat tangan dengan Bontet.
*****
"Buset, dah...Lama amet ini si Dara. Tet, dah coba nelpon dia?"
"Udeh. Katanya dia bentar lagi sampe."
"Dari sejam yang lalu jawabannya itu mulu, dah. Batal nih rencana kita bertiga..."
Tiba-tiba saja Dara muncul sambil ngos-ngosan. "Maaf, gue telat. Tadi bajajnya mogok. Maaf..."
Adi dan Bontet terpana melihat Dara. Dia luar biasa cantik kali ini. Pakai dress di bawah lutut berwarna pink. Disertai bando jalinan dari bunga-bunga melingkari kepalanya. Rambutnya yang biasa diikat, digerai dan diberi efek gelombang-gelombang acak.
"Oi! Kalian kesurupan ya?" tanya Dara sambil menoyor kepala Adi.
Langsung saja, Adi tersadar. "Hehehe...elu cantik amet, Dar. Kayak bidadari turun dari bak sampah," kata Adi sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Sompret! Ngina muji ini mah. Jelek ya gua?" rendah Dara.
"Kagak, Dar. Elu cantik banget!" tiba-tiba saja Bontet berbicara.
Dengan malu-malu, Dara menyunggingkan senyum termanisnya.
"Udeh. Kita siap-siap. Sebelumnya kita berdoa dulu. Semoga lancar." jelas Adi sambil memegang tangan Dara dan Bontet. "Berdoa mulai."
"Mudah-mudahan lancar! Aamiin!!!" seru mereka bertiga.
*****
Jreng...petikan gitar dari Adi mengalun di panggung Pensi SMA Wibawa 1, sekolahnya Adi cs. Irama lagu Bintang-bintang milik Titik Dj, mengalun lembut ditelinga penonton. Lighting bintang berwarna-warni dari layar balik panggung, cukup membuat penonton terpesona. Efek-efek diorama seperti pelangi pun turut menghiasi panggung malam ini. Kalian tahu, ternyata efek-efek diorama pelangi ini hasil ciptaan Bontet. Dia menciptakan software yang membuat diorama pelangi seakan nyata. Begitupula dengan bintang warna-warninya. Suara gemercik air yang halus pun terdengar, ini juga ternyata buatan si Bontet.
Tiba-tiba saja, Dara muncul diiringi suara merdunya dari balik panggung sambil menyanyikan lirik lagunya dengan Adi merangkap sebagai backing vocalnya.
' Lihatlah bintang di angkasa malam
Biarkan matamu menatap indahnya
Katakanlah pada yang bersinar
Khayalanmu dan mimpimu
Coba pejamkanlah dua matamu
Biarkan cahaya membias di pelupuk
Resapi dan yakinkan dirimu
Harapanmu kan menjelma

(bintang-bintang) berikan cahayamu
(bintang-bintang) taburi kami malam ini
(bintang-bintang) biarkan sinarmu .. Uuu
(bintang-bintang) menerangi indahnya cinta

Dengarlah cerita cinta ini
Satukan bersama rangkaian pancaranmu
Dan sebarlah ke penjuru bumi
Agar damai isi dunia ini

Siapa yang sendiri (dengarlah kami)
Melagukan bahagia
Suara cinta ini (kan menemani)'


Suara tepuk tangan pun bergemuruh ketika lagu ini usai. Sungguh merdu suara dari Dara, berikut petikan gitar yang mempesona dari Adi. Ditambah lagi efek-efek menakjubkan hasil karya Bontet.

"Terima kasih semuanya. Sekarang saya akan membawakan lagu ciptaan dari Adi. Judulnya Romansa Ceria. Cocok banget buat yang lagi jatuh cinta," seru Dara dari atas panggung.
Lagu Romansa Ceria akhirnya bergema di acara pensi SMA mereka bertiga.  
*****
"Ya jumpa lagi sama Marisa di Radio Muda-Mudi. Ini ada request lagu dari Ani di Cempaka Putih. Halo saya Ani, mau request lagunya Sahabat Sekolah yang judulnya Romansa Ceria. Lagu ini buat temen-temen kesayangan Ani di SMA Mulia Yasa. Specialnya buat Pak Dodit, guru PKL yang ganteng bingit. Hohoho...ternyata si Ani ini lagi gebet guru PKL-nya. Tapi kadang-kadang yang lagi PKL, suka oke-oke tampangnya. Ok, sahabat setia pendengar Radio Muda-Mudi, mari kita nikmati suara merdu vokalisnya, Andara di lagu Romansa Ceria. Selamat mendengarkan..."

'Romansa di tanah lapang...
Membias hati merayu...
Adam dan Hawa saling bertautan. Tatapan matanya saling mengadu.
Senandung ini kuciptakan...untuk pelipur lara hati yang gundah...
Mari berlari semangatkan jiwa, mengarungi samudra luas
Lalala...lalala...lalala...lalala...
Gelombang cinta di radio sendu
Mengalun lagu yang renyah...
Terdengar tawa menyentuh jiwa, dari bibir sang mata kelabu.
Hai, halo...kamu yang di sana...jangan terus bernestapa...Mari berdansa...
Romansa di tanah lapang...
Membawa angin surga ke lembah derita.
Adam dan Hawa saling berpegangan. Melihat lembayung jingga merona.

Tapak kaki, berpijak di tanah tandus
Ceria hati tetap tercipta...
Galau, galau, galau menghadirkan bahagia...
Lalala...lalala...lalala...
Pucuk bunga, menggantung layu...
Sang lebah pun berlari tenang
Air tumpah dari langit...
Membawa kesejukan bumi

Romansa di tanah lapang...
Mendayu-dayu ke sungai
Adam dan Hawa tersenyum mesra...
Menikmati hembusan angin'
*****
"Dar, gua gak nyangka loh kita bisa jadi terkenal gini. Masih gak percaya gua," takjub Adi. 
"Gua juga. Tadinya gua pikir kalau gua gede bakalan nganggur gak jelas gini. Secara gua biasa aja di semua mata pelajaran. Tapi sejak gua gaul sama Sang Musisi, kita malah dihargain gini."
"Sama kali, Dar. Cita-cita gue jadi musisi pun terwujud. Walaupun band kita gak sehebat Dewa 19, setidaknya ikut meramaikan industri musik tanah air."
"Iya, Di. Gua juga bersyukur banget. Btw, si Bontet gimana kabarnya? Kapan dia balik lagi ke Indonesia?"
"Oya, lupa gua ngasih tau. Bontet sekarang kerja di perusahaan IT terbesar di dunia. Itu tuh yang ada logo buah apel-nya. Doi katanya bulan depan mau ke Indonesia. Mau ngelamar si Ledilai."
"Wah!!! Asyik, akhirnya kita ngumpul lagi! Di, udah dulu ya? Anak gua mewek, laper kayaknya. Salam ya buat istri lu, Tina. Jangan lupa, minggu depan kita ada konser di Bandung!"
"Ok. Bye...Salam juga buat suami and anak lo. Cium sayang dari Om Adi..."
"Ye...tambah mewek dah anak gua. Bye, Di."
  
Klik, pembicaraan mereka pun disudahi. Adi tersenyum bahagia. Cita-citanya tercapai. Langsung saja dia menggoreskan tinta di buku kumal andalannya. Buku lagu-lagu karyanya. 
Tergores, judul lagu: Irama Sahabat.


Cla

Rabu, 13 Agustus 2014

Ajudan Hati

Namaku Taufik Hiddayat. Bukan seorang pemain bulu tangkis terkenal Nusantara yang pernah jadi juara dunia, melainkan aku adalah seorang ajudan salahsatu pejabat kontroversial di negeri ini.
Bukan cita-cita menjadi seorang ajudan, tapi karena 'terpeleset' aku sekarang senantiasa berbakti pada si pejabat ini.
Kalau berbicara cita-cita, sebenarnya ingin menjadi seorang Musisi tetapi ya apa daya, bapak sama sekali tak mengizinkanku untuk masuk ke industri permusikan. Bapak mengaharapkan anaknya masuk ke ranah militer. Akhirnya terdamparlah diriku menjadi ajudan. Pekerjaan yang harus royal kepada atasan. Pekerjaan yang menantang bahaya.
*****
"Hah...si bapak mau kemana lagi ini. Sudah malam masih saja ngbrol gak jelas sama koleganya", dalam hatiku.
Aku akan menceritakan sosok 'tuan'-ku ini. Dia adalah politikus muda yang penuh ide cemerlang tetapi cenderung kontroversial. Gayanya seperti eksekutif muda masa kini. Rapih dan elegan. Para mata hawa pasti tidak akan pernah berpaling apabila tuanku ini melintas. Karismanya mampu membuat kaum hawa terhipnotis.
"Fik, tolong surat yang kemarin bawa kemari," pinta tuanku yang membuyarkan lamunanku.
Dengan sigap, aku segera membawa surat perjanjian yang entah isinya apaan. Yang jelas beliau akan menandatanganinya.
"Loh? kok aneh ini ya perjanjiannya? Coba kamu hubungi si Wahid."
"Baik, pak."
Segera kupencet no sekretaris bapak yang agak-agak telmi ini.
"Siang dengan Wahid sekretarisnya Pak Gunadi Rasali, ada yang bisa saya bantu?"
"Woi, ini gue, Taufik. Si bapak noh nanyain surat perjanjian yang kemarin."
"Yang mana ya? Yang ada lambang Macan-nya itu ya?"
"Bukan. Yang datang dari Ausie. Yang koleganya bapak itu, loh..."
"Ausie tuh apaan ya? Nama orang?"
Sambil tepok jidat, aku jawab "Australia, dodol! Itu bapak nanyain."
"Ya ampun...yayaya. Kenapa ya, Fik?"
"Katanya isinya aneh gitu. Coba deh lo ngomong sama bapak."
Segera kuberikan hanphone-ku pada bapak.
Entahlah apa yang dibicarakan antara Bapak dan Wahid. Yang jelas mereka berbicara tentang surat perjanjian itu.
*****
"MAS TAUFIK, ADA TELPHONE!"
Beuh...bener-benar nih toa banget. Lagi enak-enak dengerin musik, si Bella, adikku, teriak-teriak.
"Dari siapa?" tanyaku
"Tau. Katanya dari Marina. Cie...siapa itu...pacarnya mas ya?" usil adikku.
"Anak kecil bobo ya...sudah malam. Cepat cuci kaki trus minum bagyon biar teler,"
"Enak aja! Cie, pacarnya Mas Taufik namanya Marina. IBU!!!"
Kujitak kepalanya si Bella. Tapi malah cekikikan dia.
"Ya, hallo. Ada apa, Rin?"
"Siap-siap! Bapak mendadak mau ke Bali. Katanya ada pertemuan bilateral gitu sama PT Indonesia Crop."
Kututup gagang telphon. Segera ku bergegas ke bandara.
*****
Di dalam pesawat, aku hanya termenung. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk mendampingi bapak hari ini. Ingin tidur di rumah sambil mendengarkan sendunya lagu-lagu Payung Teduh. Tapi karena tugas, apa daya harus ikut mendampingi bapak.
Kuperhatikan para pramugari di dalam pesawat. Mereka cantik-cantik dan mempunyai body yang aduhai. Tapi jujur saja aku sebal dengan kelakuannya. Pura-pura bertingkah baik, tapi sebenarnya liar. Terkadang dari mereka ini adalah simpanan para pejabat nakal. Mereka rela mejual tubuhnya demi hidup mewah layaknya bintang Hollywood.
Ah, sudahlah! Tidak baik membicarakan orang.
*****
"Mas, bapak habis ini kemana ya?" tanya seseorang berdandan urakan
"Langsung lapangan, mbak. Katanya bapak mau lihat perkebunan kopi punya PT Indonesia Crop."
"Gak ada door stop ya?"
"Nanti saja di lapangan."
"Sekarang aja deh, mas. Kalau sudah door stop kan aku mau jalan-jalan liat Bali. Maklum aku baru pertama kali ke sini."
Sedikit emosi, aku jawab permintaannya "Mbak-nya ini ke sini mau dalam rangka tugas apa jalan-jalan?! Saya saranin mbak untuk ikut bapak ke lapangan. Saya yakin mbak akan tahu Bali yang sesungguhnya dari kunjungan lapangan ini!"
Si mbak urakan ini diam. Kepalnya menunduk dan terlihat air mata menetes dari matanya.
"Yah, mbak. Jangan nangis, dong! Iya deh, door stop-nya sekarang. Tapi mbak harus ikut lapangan juga. Soalnya bapaknya yang minta," kataku setengah berbisik.
"Tapi kan aku mau liat Pantai Kuta, mas. Aku juga mau liat tugu tragedi bom Bali, mas," katanya sedikit parau.
"Kan malamnya bisa, mbak. Nanti saya anterin deh kalo mbak mau ke sana. Gimana?"
Mendadak saja wajahnya sumringah. "Benar, ya? Janji!"
"Iya, mbak," anggukku sambil menyilangkan jari di belakang punggung. Yang tandanya kata orang kalau menyilangkan jari tengah dan telunjuk berbohong. Bukan tanpa sebab aku begini, tapi ya namanya ajudan harus 24 jam standby di dekat majikan.
*****
"Benar ya kata mas-nya. Kalau aku gak ikut ke lapangan, jadi gak tahu daerah Kintamani. Ternyata keren banget!!! Dah gitu bisa nyobain kopi Kintamani lagi. Aku kan pecinta kopi, mas. Oya mas-nya suka kopi gak?" tanya si wartawan urakan ini
"Gak begitu, mbak." jawabku singkat.
"Oya, mas-nya sudah lama jadi ajudan?"
"Ya."
"Enak gak mas jadi ajudan?"
"Biasa aja."
"Punya keluarga?"
"Punya."
"Dah punya istri?"
"Belum."
"Ups! Sori. Mangnya usia masnya berapa?"
"Mbak, saya sedang tugas. Ngobrolnya nanti aja ya..." kataku dengan nada yang sedikit emosi.
"Ye...jutek amet dah. Aku kan cuman nanya aja. Mangnya seribet itu kah ya jadi 'pengawal' pejabat?"
Ini anak mulai bikin otakku mendidih. Langsung saja kutinggalkan si wartawan cerewet ini.

Memang hidup menjadi ajudan tidaklah menyenangkan. Kita harus setia menjaga atasan yang belum tentu dia peduli sama kita. Terkadang mereka menyepelekan pekerjaan kita. Padahal hidup dan matinya ada di tangan para sang ajudan. Bisa saja kita tinggalkan mereka ketika bahaya mengancam, tetapi karena totalitas, para ajudan dengan senang hati merelakan keselamatan dirinya untuk sang tuan.
*****
Malam ini aku tidak jadi menemani si wartawan urakan ke Kuta. Pertama aku harus menjaga bapak. Kedua si wartawan itu pergi dengan yang lain. Whatever-lah, aku juga malas harus mendengarkan celotehannya. Dasar wartawan abal-abal.
Bercerita tentang wartawan, dengan kekontroversialannya bapak, tentu saja banyak wartawan yang menguntitnya. Pernyatan-pernyataannya yang membuat orang mengelus dada, tentu menjadikan berita punya nilai jual yang tinggi. Makanya bapak begitu populer di kalangan wartawan.
Dulu ada satu wartawan wanita yang sempat membuat ku berdegup-degup ketika melihatnya. Namanya Triesnawati. Dia merupakan wartawan dari media ternama. Anaknya pendiam, tetapi ketika bertanya, sungguh cerdas pertanyaannya. Belum lagi ketika sedang membidikan kameranya, sungguh membuat waktu mendadak berhenti. Hanya delapan bulan dia menjadi wartawan 'penguntit' bapak. Sekarang, entah kemana keberadaannya.
Dia-lah sosok wanita idamanku. Pekerja keras tetapi sedikit berbicara.
*****
"Bang, bapak habis ini kemana ya?" tanya Triesnawati.
"Langsung ke rumah Pak Bupati."
"Oh...baiklah. Terima kasih, ya. Oya, mau permen?" tawarnya sambil tersenyum.
Entah mengapa ketika dia menawarkan permen, hati ini rasanya terenyuh. Sederhana tetapi membuat hati rumit.
Sejak peristiwa permen, pandangan ini selalu mencari sosoknya. Sosok seorang wartawati tidak terlalu cantik tapi menarik. Rambutnya yang hitam dan selalu dikuncir ekor kuda, membuat hati tak tentu begitu melihatnya. Ketika memegang kamera, dengan cepat gerakan jarinya memutar lensa. Mengambil bidikan dengan tajam. Sosoknya begitu dinantikan.

"Bang, mau door stop kita. Boleh?"
"Ya boleh, tapi tunggu bapak makan siang dulu ya? Apa mau mengobrol sambil makan siang?"
"Kalau boleh sama protokol sih, bebas-bebas saja saya mah. Abang deh yang tanya sama protokol. Ngeri kalo deket-deket mereka."
"Kalau deket saya gak takut..." kataku sambil memasang wajah jahil.
Dia hanya diam
"Sudah, lupakan. Ya, nanti saya kabari mbak kalau boleh sama protokol."
"Ok. Tengs ya. Mau permen?"
Lagi-lagi dia selalu menawariku permen. Sejak saat itu, kujuluki dia dengan Gadis Permen.

"Pak Gunadi, apa yang bapak lakukan kalau seandainya program-program yang diajukan bapak tidak sejalan dengan visi dan misi kabinet saat ini?"
"Ya saya akan mengundurkan diri jadi anggota dewan."
"Loh, kok? Berarti bapak melanggar sumpah?"
"Tidak juga. Saya memutuskan untuk jadi anggota dewan karena saya ingin rakyat itu merdeka. Saya ingin memperjuangkan hak-hak mereka. Jadi program-program yang disusun oleh saya adalah program yang pro kepada rakyat."
"Kalau bapak mengundurkan diri karena sebab itu, berarti tandanya bapak memikirkan kepentingan pribadi?"
"Kata siapa? Saya menyusun program ini bukan semata-mata dari pemikiran saya semata, melainkan saya sudah mengunjungi seluruh daerah di Indonesia. Saya berkomunikasi apa yang mereka inginkan."
Sesi wawancara dengan Triesnawati memang terkadang alot. Entah bapak atau Triesnawati-nya yang emosi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tetapi menggelitik menjadi ciri khasnya. Bapak pun terkesan dengan dirinya karena hanya dia yang mampu membantah pernyataannya.

"Bang, gak makan lo?"
"Iya, nanti. Tunggu bapak baru saya makan."
"Idih, ribet amet. Dah laper kan situ?"
"Gak terlalu, mbak." jawabku singkat.
"Nih, mengurangi rasa lapar," katanya sambil menawarkan permen. "Oya bang, bagus gak hasil bidikanku yang ini?" katanya sambil memperlihatkan hasil fotonya di laptop.
Yang kulihat hanya kegiatan di pasar malam.
"Ini pasar malam, bang. Di Jagakarsa. Apa coba istimewanya?"
"Bianglalanya," jawabku singkat.
"Salah. Yang istimewanya itu ini, penjual gulali."katanya sambil menunjuk ke foto penjual gulali di dekat bianglala.
"Apa istimewanya?"
"Dia itu bisa membuat siapa pun tersenyum kalau memakannya."
"Kalau jadi sakit gigi, malah cemberut dong pembelinya?"
"Itu mah urusannya beda. Tapi pernah gak abang pikir ada anak kecil beli gulali, tapi dia pasang tampang cemberut? Gak pernah kan? Nah, itu tandanya si penjual gulali banyak dapat pahala. Telah membuat anak-anak tersenyum," jelasnya dengan berapi-api.
Aku hanya tersenyum dengan pemikiran sederhananya. Benar katanya, seseorang yang memberikan permen itu akan membuat suasana hati ceria. Seperti dirinya yang selalu menawari permen.
*****
"Fik, kamu ngerasa gak wartawan-wartawan sekarang pada bodoh-bodoh?" tanya bapak di saat perjalanan menuju ke rumahnya.
"Wah, saya gak tahu, pak. Hanya pemikiran bapak saja itu."
"Gak ada yang kayak Triesnawati. Kemana ya dia sekarang?"
Aku hanya diam saja ketika bapak bercerita tentang Gadis Permen.
*****
"Mau permen, bang?" tawar seseorang di belakang.
Deg...aku hapal dengan suara ini. Apakah dia...
"Ini. Ambil saja." tawarnya lagi.
Kulihat sosok yang menawari permen. Wanita berambut pendek dan berdandan layaknya wanita karir. Siapakah dia?
"Halo, bang? Diam saja. Ya sudah kalau tidak mau permen."
"Maaf, anda siapa ya?" tanyaku.
"Oya, saya wartawan yang baru stay di sini. Nama saya Pamela. Salam kenal." katanya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Salam kenal juga, mbak," kataku sambil berjabat tangan dengannya.
"Ada salam, bang. Dari Triesnawati."
"Oya," jawabku setengah kaget.
"Iya, Triesnawati. Dia kenal abang. Katanya abang suka permen, makanya aku tawari permen."
"Oala...yayaya...Gimana kabarnya dia sekarang?"
"Dia cerita katanya abang baik banget orangnya. Dia senang banget bisa ketemu sama abang. Dia berterima kasih banget sama abang."
"Terima kasih apa ya?" tanyaku heran.
"Karena bianglala."
"Hah? Bianglala?"
"Iya, foto yang ditunjukin ke abang waktu itu, yang ada bianglalanya menang lomba."
Ya aku, ingat. Waktu kujelaskan mengapa bianglala itu hebat.
 'Bianglala itu juga gak kalah hebatnya sama pedagang gulali. Berbentuk bundar seperti roda yang hanya diberi kurungan berikut tempat duduknya, tetapi mampu membuat orang tersenyum bahagia. Bianglala ini banyak ditemukan. Di arena bermain sebesar Disneyland saja bianglala tetap menjadi icon. Bianglala itu adalah masterpiece kebahagian seseorang'
"Dia sekarang jadi fotografer lepas, bang. Dia sudah keluar dari media kami..."
"Oh...lalu?" kataku penasaran.
"Dia kagum sama abang karena setia dengan pekerjaannya. Makanya, nanti kalau anaknya lahir, ya kira-kira dua bulan lagi, akan dia beri nama Taufik Ajudan Sakti."
Deg...ternyata Triesnawati sudah menikah. Sudah ada ajudan yang selalu menjaganya.
"Oya, dia juga nitip ini," kata Pamela sambil menyodorkan sebuah kertas foto hitam-putih.
Kulihat fotoku berdiri termenung di samping bapak di dalam kertas itu.
"Berkat foto ini, dia menemukan tambatan hatinya. Dia dan suaminya sangat mengagumi para ajudan. Makanya dia sekarang buat pameran foto tentang 'Sang Ajudan, Pahlawan Terlupakan'."
Ternyata kertas foto itu adalah undangan pameran fotografinya.
"Datang ya, bang. Dia pengen banget abang datang karena sumber inspirasinya."
Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan saja. Tak kusangka begitu istimewanya pekerjaanku di matanya.
Ya, Triesnawati. Aku memang tidak bisa menjadi ajudan dikehidupannya, tetapi aku bisa menjadi ajudan di hasil bidikannya.

Cla