Ajudan Hati
Namaku Taufik Hiddayat. Bukan seorang pemain bulu tangkis terkenal Nusantara yang pernah jadi juara dunia, melainkan aku adalah seorang ajudan salahsatu pejabat kontroversial di negeri ini.
Bukan cita-cita menjadi seorang ajudan, tapi karena 'terpeleset' aku sekarang senantiasa berbakti pada si pejabat ini.
Kalau berbicara cita-cita, sebenarnya ingin menjadi seorang Musisi tetapi ya apa daya, bapak sama sekali tak mengizinkanku untuk masuk ke industri permusikan. Bapak mengaharapkan anaknya masuk ke ranah militer. Akhirnya terdamparlah diriku menjadi ajudan. Pekerjaan yang harus royal kepada atasan. Pekerjaan yang menantang bahaya.
*****
"Hah...si bapak mau kemana lagi ini. Sudah malam masih saja ngbrol gak jelas sama koleganya", dalam hatiku.
Aku akan menceritakan sosok 'tuan'-ku ini. Dia adalah politikus muda yang penuh ide cemerlang tetapi cenderung kontroversial. Gayanya seperti eksekutif muda masa kini. Rapih dan elegan. Para mata hawa pasti tidak akan pernah berpaling apabila tuanku ini melintas. Karismanya mampu membuat kaum hawa terhipnotis.
"Fik, tolong surat yang kemarin bawa kemari," pinta tuanku yang membuyarkan lamunanku.
Dengan sigap, aku segera membawa surat perjanjian yang entah isinya apaan. Yang jelas beliau akan menandatanganinya.
"Loh? kok aneh ini ya perjanjiannya? Coba kamu hubungi si Wahid."
"Baik, pak."
Segera kupencet no sekretaris bapak yang agak-agak telmi ini.
"Siang dengan Wahid sekretarisnya Pak Gunadi Rasali, ada yang bisa saya bantu?"
"Woi, ini gue, Taufik. Si bapak noh nanyain surat perjanjian yang kemarin."
"Yang mana ya? Yang ada lambang Macan-nya itu ya?"
"Bukan. Yang datang dari Ausie. Yang koleganya bapak itu, loh..."
"Ausie tuh apaan ya? Nama orang?"
Sambil tepok jidat, aku jawab "Australia, dodol! Itu bapak nanyain."
"Ya ampun...yayaya. Kenapa ya, Fik?"
"Katanya isinya aneh gitu. Coba deh lo ngomong sama bapak."
Segera kuberikan hanphone-ku pada bapak.
Entahlah apa yang dibicarakan antara Bapak dan Wahid. Yang jelas mereka berbicara tentang surat perjanjian itu.
*****
"MAS TAUFIK, ADA TELPHONE!"
Beuh...bener-benar nih toa banget. Lagi enak-enak dengerin musik, si Bella, adikku, teriak-teriak.
"Dari siapa?" tanyaku
"Tau. Katanya dari Marina. Cie...siapa itu...pacarnya mas ya?" usil adikku.
"Anak kecil bobo ya...sudah malam. Cepat cuci kaki trus minum bagyon biar teler,"
"Enak aja! Cie, pacarnya Mas Taufik namanya Marina. IBU!!!"
Kujitak kepalanya si Bella. Tapi malah cekikikan dia.
"Ya, hallo. Ada apa, Rin?"
"Siap-siap! Bapak mendadak mau ke Bali. Katanya ada pertemuan bilateral gitu sama PT Indonesia Crop."
Kututup gagang telphon. Segera ku bergegas ke bandara.
*****
Di dalam pesawat, aku hanya termenung. Entah kenapa rasanya malas sekali untuk mendampingi bapak hari ini. Ingin tidur di rumah sambil mendengarkan sendunya lagu-lagu Payung Teduh. Tapi karena tugas, apa daya harus ikut mendampingi bapak.
Kuperhatikan para pramugari di dalam pesawat. Mereka cantik-cantik dan mempunyai body yang aduhai. Tapi jujur saja aku sebal dengan kelakuannya. Pura-pura bertingkah baik, tapi sebenarnya liar. Terkadang dari mereka ini adalah simpanan para pejabat nakal. Mereka rela mejual tubuhnya demi hidup mewah layaknya bintang Hollywood.
Ah, sudahlah! Tidak baik membicarakan orang.
*****
"Mas, bapak habis ini kemana ya?" tanya seseorang berdandan urakan
"Langsung lapangan, mbak. Katanya bapak mau lihat perkebunan kopi punya PT Indonesia Crop."
"Gak ada door stop ya?"
"Nanti saja di lapangan."
"Sekarang aja deh, mas. Kalau sudah door stop kan aku mau jalan-jalan liat Bali. Maklum aku baru pertama kali ke sini."
Sedikit emosi, aku jawab permintaannya "Mbak-nya ini ke sini mau dalam rangka tugas apa jalan-jalan?! Saya saranin mbak untuk ikut bapak ke lapangan. Saya yakin mbak akan tahu Bali yang sesungguhnya dari kunjungan lapangan ini!"
Si mbak urakan ini diam. Kepalnya menunduk dan terlihat air mata menetes dari matanya.
"Yah, mbak. Jangan nangis, dong! Iya deh, door stop-nya sekarang. Tapi mbak harus ikut lapangan juga. Soalnya bapaknya yang minta," kataku setengah berbisik.
"Tapi kan aku mau liat Pantai Kuta, mas. Aku juga mau liat tugu tragedi bom Bali, mas," katanya sedikit parau.
"Kan malamnya bisa, mbak. Nanti saya anterin deh kalo mbak mau ke sana. Gimana?"
Mendadak saja wajahnya sumringah. "Benar, ya? Janji!"
"Iya, mbak," anggukku sambil menyilangkan jari di belakang punggung. Yang tandanya kata orang kalau menyilangkan jari tengah dan telunjuk berbohong. Bukan tanpa sebab aku begini, tapi ya namanya ajudan harus 24 jam standby di dekat majikan.
*****
"Benar ya kata mas-nya. Kalau aku gak ikut ke lapangan, jadi gak tahu daerah Kintamani. Ternyata keren banget!!! Dah gitu bisa nyobain kopi Kintamani lagi. Aku kan pecinta kopi, mas. Oya mas-nya suka kopi gak?" tanya si wartawan urakan ini
"Gak begitu, mbak." jawabku singkat.
"Oya, mas-nya sudah lama jadi ajudan?"
"Ya."
"Enak gak mas jadi ajudan?"
"Biasa aja."
"Punya keluarga?"
"Punya."
"Dah punya istri?"
"Belum."
"Ups! Sori. Mangnya usia masnya berapa?"
"Mbak, saya sedang tugas. Ngobrolnya nanti aja ya..." kataku dengan nada yang sedikit emosi.
"Ye...jutek amet dah. Aku kan cuman nanya aja. Mangnya seribet itu kah ya jadi 'pengawal' pejabat?"
Ini anak mulai bikin otakku mendidih. Langsung saja kutinggalkan si wartawan cerewet ini.
Memang hidup menjadi ajudan tidaklah menyenangkan. Kita harus setia menjaga atasan yang belum tentu dia peduli sama kita. Terkadang mereka menyepelekan pekerjaan kita. Padahal hidup dan matinya ada di tangan para sang ajudan. Bisa saja kita tinggalkan mereka ketika bahaya mengancam, tetapi karena totalitas, para ajudan dengan senang hati merelakan keselamatan dirinya untuk sang tuan.
*****
Malam ini aku tidak jadi menemani si wartawan urakan ke Kuta. Pertama aku harus menjaga bapak. Kedua si wartawan itu pergi dengan yang lain. Whatever-lah, aku juga malas harus mendengarkan celotehannya. Dasar wartawan abal-abal.
Bercerita tentang wartawan, dengan kekontroversialannya bapak, tentu saja banyak wartawan yang menguntitnya. Pernyatan-pernyataannya yang membuat orang mengelus dada, tentu menjadikan berita punya nilai jual yang tinggi. Makanya bapak begitu populer di kalangan wartawan.
Dulu ada satu wartawan wanita yang sempat membuat ku berdegup-degup ketika melihatnya. Namanya Triesnawati. Dia merupakan wartawan dari media ternama. Anaknya pendiam, tetapi ketika bertanya, sungguh cerdas pertanyaannya. Belum lagi ketika sedang membidikan kameranya, sungguh membuat waktu mendadak berhenti. Hanya delapan bulan dia menjadi wartawan 'penguntit' bapak. Sekarang, entah kemana keberadaannya.
Dia-lah sosok wanita idamanku. Pekerja keras tetapi sedikit berbicara.
*****
"Bang, bapak habis ini kemana ya?" tanya Triesnawati.
"Langsung ke rumah Pak Bupati."
"Oh...baiklah. Terima kasih, ya. Oya, mau permen?" tawarnya sambil tersenyum.
Entah mengapa ketika dia menawarkan permen, hati ini rasanya terenyuh. Sederhana tetapi membuat hati rumit.
Sejak peristiwa permen, pandangan ini selalu mencari sosoknya. Sosok seorang wartawati tidak terlalu cantik tapi menarik. Rambutnya yang hitam dan selalu dikuncir ekor kuda, membuat hati tak tentu begitu melihatnya. Ketika memegang kamera, dengan cepat gerakan jarinya memutar lensa. Mengambil bidikan dengan tajam. Sosoknya begitu dinantikan.
"Bang, mau door stop kita. Boleh?"
"Ya boleh, tapi tunggu bapak makan siang dulu ya? Apa mau mengobrol sambil makan siang?"
"Kalau boleh sama protokol sih, bebas-bebas saja saya mah. Abang deh yang tanya sama protokol. Ngeri kalo deket-deket mereka."
"Kalau deket saya gak takut..." kataku sambil memasang wajah jahil.
Dia hanya diam
"Sudah, lupakan. Ya, nanti saya kabari mbak kalau boleh sama protokol."
"Ok. Tengs ya. Mau permen?"
Lagi-lagi dia selalu menawariku permen. Sejak saat itu, kujuluki dia dengan Gadis Permen.
"Pak Gunadi, apa yang bapak lakukan kalau seandainya program-program yang diajukan bapak tidak sejalan dengan visi dan misi kabinet saat ini?"
"Ya saya akan mengundurkan diri jadi anggota dewan."
"Loh, kok? Berarti bapak melanggar sumpah?"
"Tidak juga. Saya memutuskan untuk jadi anggota dewan karena saya ingin rakyat itu merdeka. Saya ingin memperjuangkan hak-hak mereka. Jadi program-program yang disusun oleh saya adalah program yang pro kepada rakyat."
"Kalau bapak mengundurkan diri karena sebab itu, berarti tandanya bapak memikirkan kepentingan pribadi?"
"Kata siapa? Saya menyusun program ini bukan semata-mata dari pemikiran saya semata, melainkan saya sudah mengunjungi seluruh daerah di Indonesia. Saya berkomunikasi apa yang mereka inginkan."
Sesi wawancara dengan Triesnawati memang terkadang alot. Entah bapak atau Triesnawati-nya yang emosi. Pertanyaan-pertanyaan sederhana tetapi menggelitik menjadi ciri khasnya. Bapak pun terkesan dengan dirinya karena hanya dia yang mampu membantah pernyataannya.
"Bang, gak makan lo?"
"Iya, nanti. Tunggu bapak baru saya makan."
"Idih, ribet amet. Dah laper kan situ?"
"Gak terlalu, mbak." jawabku singkat.
"Nih, mengurangi rasa lapar," katanya sambil menawarkan permen. "Oya bang, bagus gak hasil bidikanku yang ini?" katanya sambil memperlihatkan hasil fotonya di laptop.
Yang kulihat hanya kegiatan di pasar malam.
"Ini pasar malam, bang. Di Jagakarsa. Apa coba istimewanya?"
"Bianglalanya," jawabku singkat.
"Salah. Yang istimewanya itu ini, penjual gulali."katanya sambil menunjuk ke foto penjual gulali di dekat bianglala.
"Apa istimewanya?"
"Dia itu bisa membuat siapa pun tersenyum kalau memakannya."
"Kalau jadi sakit gigi, malah cemberut dong pembelinya?"
"Itu mah urusannya beda. Tapi pernah gak abang pikir ada anak kecil beli gulali, tapi dia pasang tampang cemberut? Gak pernah kan? Nah, itu tandanya si penjual gulali banyak dapat pahala. Telah membuat anak-anak tersenyum," jelasnya dengan berapi-api.
Aku hanya tersenyum dengan pemikiran sederhananya. Benar katanya, seseorang yang memberikan permen itu akan membuat suasana hati ceria. Seperti dirinya yang selalu menawari permen.
*****
"Fik, kamu ngerasa gak wartawan-wartawan sekarang pada bodoh-bodoh?" tanya bapak di saat perjalanan menuju ke rumahnya.
"Wah, saya gak tahu, pak. Hanya pemikiran bapak saja itu."
"Gak ada yang kayak Triesnawati. Kemana ya dia sekarang?"
Aku hanya diam saja ketika bapak bercerita tentang Gadis Permen.
*****
"Mau permen, bang?" tawar seseorang di belakang.
Deg...aku hapal dengan suara ini. Apakah dia...
"Ini. Ambil saja." tawarnya lagi.
Kulihat sosok yang menawari permen. Wanita berambut pendek dan berdandan layaknya wanita karir. Siapakah dia?
"Halo, bang? Diam saja. Ya sudah kalau tidak mau permen."
"Maaf, anda siapa ya?" tanyaku.
"Oya, saya wartawan yang baru stay di sini. Nama saya Pamela. Salam kenal." katanya sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Salam kenal juga, mbak," kataku sambil berjabat tangan dengannya.
"Ada salam, bang. Dari Triesnawati."
"Oya," jawabku setengah kaget.
"Iya, Triesnawati. Dia kenal abang. Katanya abang suka permen, makanya aku tawari permen."
"Oala...yayaya...Gimana kabarnya dia sekarang?"
"Dia cerita katanya abang baik banget orangnya. Dia senang banget bisa ketemu sama abang. Dia berterima kasih banget sama abang."
"Terima kasih apa ya?" tanyaku heran.
"Karena bianglala."
"Hah? Bianglala?"
"Iya, foto yang ditunjukin ke abang waktu itu, yang ada bianglalanya menang lomba."
Ya aku, ingat. Waktu kujelaskan mengapa bianglala itu hebat.
'Bianglala itu juga gak kalah hebatnya sama pedagang gulali. Berbentuk bundar seperti roda yang hanya diberi kurungan berikut tempat duduknya, tetapi mampu membuat orang tersenyum bahagia. Bianglala ini banyak ditemukan. Di arena bermain sebesar Disneyland saja bianglala tetap menjadi icon. Bianglala itu adalah masterpiece kebahagian seseorang'
"Dia sekarang jadi fotografer lepas, bang. Dia sudah keluar dari media kami..."
"Oh...lalu?" kataku penasaran.
"Dia kagum sama abang karena setia dengan pekerjaannya. Makanya, nanti kalau anaknya lahir, ya kira-kira dua bulan lagi, akan dia beri nama Taufik Ajudan Sakti."
Deg...ternyata Triesnawati sudah menikah. Sudah ada ajudan yang selalu menjaganya.
"Oya, dia juga nitip ini," kata Pamela sambil menyodorkan sebuah kertas foto hitam-putih.
Kulihat fotoku berdiri termenung di samping bapak di dalam kertas itu.
"Berkat foto ini, dia menemukan tambatan hatinya. Dia dan suaminya sangat mengagumi para ajudan. Makanya dia sekarang buat pameran foto tentang 'Sang Ajudan, Pahlawan Terlupakan'."
Ternyata kertas foto itu adalah undangan pameran fotografinya.
"Datang ya, bang. Dia pengen banget abang datang karena sumber inspirasinya."
Aku hanya bisa menjawab dengan anggukan saja. Tak kusangka begitu istimewanya pekerjaanku di matanya.
Ya, Triesnawati. Aku memang tidak bisa menjadi ajudan dikehidupannya, tetapi aku bisa menjadi ajudan di hasil bidikannya.
Cla
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda