Selasa, 10 September 2013

Tugas Kuliah yang Dibuat Menjelang Detik-Detik Dikumpulkan



 Tugas, tugas, tugas
Kuliah emang banyak tugas
Dalam sehari, itu bisa empat tugas

Di bawah ini karya fiksi ilmiah saat kuliah
Mata kuliah tugas tentang penerapan metode penelitian

Berhubung ane termasuk mahasiswa yang super duper nyatai dalam tugas alias males, ini dibuatnya detik-detik menjelang pengumpulan
Buatnya jam 4 subuh dengan jadwal masuk kuliah jam 7.30
Hebat kan ane? :D
Bukannya males, tapi susah banget nyari inspirasi buat fiksi ilmiah

Untuk inspirasi, ane bac-bacalah Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2
Awalnya mau buat cerita Kerajaan Hooling
Tapi entah kenapa setelah baca isi prasasti yupa peninggalan Kerajaan Kutai, ane malah lebih tertarik
Akhirnya terciptalah fiksi ilmiah yang hanya beberapa jam sebelum dikumpulkan

Emang lagi apes apa bagaimana, ni dosen minta ane bacain karya fiksi ilmiah ane
Dag-dig-dug serrrr.....
Dengan napas yang terseok-seok (kehausan), ane baca karya ane di depan kelas sampai tandas

Do you know reaksi dosen?
Beliau memuji! (Thanks for my dosen 'Prof. Agus Aris Munandar'
Dan katanya ane mau dikirim gitu buat ikutan seminar tentang Kerajaan Kutai di Kalimantan (walaupun sampe detik ini tidak terlaksana T_T )
Whatever-lah...yang penting ane senang dengan karya ane sendiri yang hanya dibuat dalam waktu yang singkat, tetapi isinya menyentuh (katanya)

Kalau gitu, tunggu apa lagi!
Silahkan membaca....
:)

Sang Maharaja dari Kutai

            Pada suatu hari di padang rumput yang hijau, ada seorang anak kecil yang sedang duduk diam termenung. Dia melihat ke atas awan yang putih dan dia tersenyum penuh makna. Tiba-tiba dikejauhan terdengar seseorang yang memanggilnya.
“Mulawaramman!” seru seseorang dari kejauhan.
“Tidak! Itu pasti pengawal dari ayah yang menyuruh aku pulang.” Kata anak kecil itu sambil menggigit jarinya. “Kalau begitu, aku harus berlari biar aku tak jadi pulang!”
            Sang Mulawarmman kecil itu mulai berlari kencang.
“Hahaha…pasti dia tidak bisa mengejarku karena aku berlari bagaikan cahaya matahari!”
            Mulawarmman kecil berlari kencang sekali, hingga kakinya menginjak genangan air dan terjatuh. Tiba-tiba saja keadaan disekelilingnya menjadi berputar-putar dan ia mulai merasakan dunia menjadi gelap-gulita.
***
“Bangunlah Mulawarmman, hari sudah mulai siang! Mana mungkin seorang raja tertidur di singasana!”
            Dengan mata berkejap-kejap, Mulawarmman mulai terbangun.
“Aku ingin bermain layang-layangan!” katanya sambil menggeliat.
Mendengar Mulawarmman ingin bermain layang-layangan, orang-orang yang berdiri di dekatnya tertawa terbahak-bahak.
“Yang benar saja kau ingin bermain layang-layang, kau seperti bocah-bocah ingusan  yang tak mengenal sulitnya bekerja di bumi ini saja. Apa kata dunia, kalau kau macam ini?” kata seorang penasihatnya.
“Tapi diriku ini memang masih bocah, jadi apa salahnya aku ingin bermain layang-layangan!?”
“Hahaha…kau bisa saja Mulawarmman! Kau ini bukan seorang bocah lagi, tapi kau ini adalah seorang raja yang sudah berumur dan tak layak lagi untuk bermain layang-layang.”
“Raja? Bukankah ayahku yang menjadi seorang raja?” heran Mulawarmman.
“Kau ini ada-ada saja! Ayah kau, Aswawarmman memang seorang raja, tapi beliau sudah mangkat beberapa bulan yang lalu. Masa kau tidak ingat?” kata penasihatnya sambil mengambil buah jeruk yang di atas meja.
Dengan perasaan yang heran, Mulawarmman mulai berlari ke arah cermin untuk melihat sesosok dirinya.
“TIDAK! MANA MUNGKIN TIBA-TIBA AKU MENJADI BESAR SEPERTI INI!!!” teriaknya di depan cermin.
“Memang kau sudah besar. Sudah menjadi seorang raja yang memerintah di bumi tercinta ini.”
            Dengan perasaan yang kalang kabut, Mulawarmman berlari ke sana ke mari membuat keadaan istana menjadi genting.
            “Mulawarmman, apa yang kau lakukan? Kau membuat seluruh istana menjadi panik tak terkendali.” Kata penasihatnya sambil menenangkan Mulawarmman yang kalang kabut.
            “Aku ini masih kecil! Aku ingin bertemu dengan kakekku!”
            “Maksudmu adalah Yang Mulia Kundungga?”
            “Entahlah, aku tak tahu namanya! Yang penting, bawa saja diriku ke KAKEK!” Pintanya.
            “Baiklah kalau begitu.”
            Penasihat Mulawarmman tersebut, membawa dirinya bertemu dengan kakeknya, Kundungga. Ketika mereka sampai di  depan kamar Kundungga, penasihat Mulawarmman mulai mengetuk pintu kamar.
            “Siapa?” Kata seseorang yang berada di dalamnya.
            “Sang Raja Mulawarmman ingin bertemu dengan anda.”
            “Tunggulah sebentar, akan kubukakan pintunya dahulu.”
            Ketika pintu mulai terbuka, Mulawarmman mulai masuk ke dalamnya.
            “Oh, Cucuku yang paling kucinta! Ada apa gerangan tiba-tiba kau kemari?” Tanya Kundungga.
            Dengan perasaan yang gundah gulana, Mulawarmman mulai bercerita tentang kejadian yang menimpanya.
            “Hehehe…kau ini ada-ada saja Cucuku! Mungkin kau hanya lelah saja sampai kau berkhayal seperti itu.”
            “Tidak kakek, aku sungguh-sungguh!” Tegasnya.
            “Hehehe…kau memang lelah akibat kemarin engkau baru saja membuat upacara di Waprakeswara1.”
            “Memangnya kemarin aku mengadakan upacara di sana?”
            “Masa kau tidak ingat?! Kaulah yang menganugerahkan lembu sebanyak 20.000 ekor kepada para pendeta.”
            “Lembu? Pendeta?” katanya bingung.
            “Hahaha…kau ini memang kelelahan, Cucuku!” Kata Kundungga sambil meminum secangkir teh “Keluarlah dahulu dari istana ini dan lihatlah sekelilingmu agar kau lebih tenang saat ini!”
            Mulawarmman mulai berjalan ke luar istana. Dalam sekejap saja dia mulai merasakan perasaan yang damai di antara para masyarakat. Tiba-tiba dia merasa tertarik melihat seseorang sedang memahatkan sesuatu di atas batu yag menyerupai tiang. Dia pergi menghampirinya.
            “Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Mulawarmman dengan penuh takjub.
            “Aku sedang menulis peristiwa kemarin.” Jawabnya singkat tanpa memperhatikan orang yang menanyakannya.
            “Apa kau seorang pujangga?” tanya Mulawarmman lagi.
            “Bukan. Aku seorang citraleka2.” jawabnya dengan nada kesal.
            Ketika sedang memperhatikan sang citraleka, terdengar suara gaduh dari arah selatan yang membuat Mulawarmman berpaling dari kegiatan sang citraleka.
            “Janganlah kau ambil buah-buahanku!” kata seorang pemuda berjanggut.
            “Milikmu? Enak saja kau, ini buah-buahan miliku bukan milikmu.” kata seorang pemuda berbaju biru.
            “Tidak! Aku yang mengambil buah-buahan ini dari hutan, bukan kau! Jadi yang berhak adalah diriku.” kata pemuda berjanggut itu lagi.
            “Akulah yang pertama kali yang melihat buah-buahan itu di hutan!” kata pemuda berbaju biru.
            Tidak adanya yang mengalah, kedua pemuda itu mulai saling pukul-pukulan. Sang Mulawarmman mulai bertindak.
            “Apa yang kalian lakukan? Apakah kalian tidak malu disaksikan oleh orang-orang akibat kelakuan kalian yang seperti anak kecil?” tanya Mulawarmman dengan ketus.
            Dalam seketika, kedua pemuda tersebut menghentikan aksi pukul-pukulannya.
            “Siapakah dirimu?” tanya pemuda berbaju biru.
            “Kau ikut campur saja urusan kita berdua!” kata pemuda berjanggut.
            “Sebentar. Dilihat dari pakaianmu, sepertinya kau orang terpandang. Apa kau seorang bangsawan?” tanya pemuda berbaju biru.
            Dengan perasaan sedikit takut, sang Mulawarmman mulai menjawabnya. “Mm… sebenarnya mm… aku adalah mm….”
            “Lama sekali kau menjawabnya!” gerutu pemuda berjanggut.
            “Aku adalah Mulawarmman.”
            Tiba-tiba saja kedua pemuda itu terkejut dan langsung berlari tunggang-langgang ke arah hutan. Dengan seketika, orang-orang di sekitarnya mulai bersujud di bawah kaki Mulawarmman.
            “Wahai Mulawarmman Yang Agung, ampunilah kami yang tidak tahu bahwa engkau adalah sang Raja!” pinta seorang kakek tua.
            “Kalian tak usah risau dan bangunlah kalian!” kata Mulawarmman dengan bijak.
            “Terima kasih Yang Mulia Agung, engkau memang baik hati.” kata seorang wanita berselendang.
            Dengan raut wajah yang senang, Mulawarmman mulai tersenyum kepada rakyatnya dan rakyatnya mulai saling berjabat tangan dengan dirinya. Tiba-tiba ada sebuah batu besar mengenai kepalanya dan dia mulai jatuh tersungkur di hadapan rakyatnya.
*****
“Akhirnya kau bangun juga Mulawarmman kecilku yang malang.”
“Ayahanda, apa yang terjadi pada diriku hingga aku tak sadarkan diri?” tanya Mulawarmman kecil.
            “Engkau tadi terjatuh.”
            “Ayahanda, diriku baru saja bermimpi menjadi seorang raja di negeri ini. ”
            “Hahaha…kau memang puteraku yang paling lucu! Tentu saja kau kelak akan menjadi seorang raja menggantikan diriku ini.”
            “Diriku juga bertemu dengan kakek dalam mimpiku. Ternyata dia serupa denganmu, Ayahanda”
            “Kakek memang serupa dengan diriku, begitu juga dirimu. Oleh karena itu, seharusnya engkau bersyukur dilahirkan sempurna tanpa cacat sedikit pun!”
            “Tapi Ayah, bagaimana rupa ibuku? Apakah dia cantik?” tanya Mulawarmman kecil.
            “Tentu saja ibumu cantik bagaikan bidadari yang turun dari langit.”
            “Apakah dia juga sayang pada diriku?” tanyanya Mulawarmman kecil lagi.
            “Itu sudah tentu. Dia begitu sayang terhadapmu.”
            “Apakah engkau juga begitu terhadapku?” tanya Mulawarmman kecil dengan muka yang penuh iba.
            “Setinggi gunung dan seluas samudra, aku menyayangimu. Aku rela memberimu apa saja, demi kebahagiaanmu kelak.”
            Sambil memeluk ayahnya, sang Mulawarmman kecil berkata “Terima kasih. Engkau adalah ayahku yang paling kusayang.”
***



                                                                                                                         Clara Agustin
NPM. 0606086483
   


           



____________
11     Waprakeswara adalah gundukan, tumpukan (rumput) untuk (duduk) dewa.
22    Citraleka adalah orang yang  menulis atau memahat prasasti.






 Cla

 Prasasti Yupa @Museum Nasional Jakarta




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda